JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyayangkan keputusan negara-negara pengekspor minyak dan sekutu yang dipimpin oleh Rusia atau OPEC+ memangkas produksi minyak sebanyak 2 juta barrel per hari mulai November 2022.
Ia mengatakan, pemangkasan produksi ini akan membuat harga minyak dunia terus tinggi dengan bertahan di atas 90 dollar AS per barrel. Keputusan itu bertolak belakang dari harapan negara-negara berkembang yang membutuhkan harga minyak dunia lebih terjangkau.
"Kita dikejutkan keputusan yang diambil OPEC+ yang memotong produksi sehingga harga minyak bertahan di atas 90 dollar AS. Tentu ini counter kebijakan yang diharapkan negara berkembang agar energi bisa berkeadilan dan affordable, tetapi yang diambil sebaliknya," ujarnya dalam acara Investor Daily Summit 2022 di JCC, Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Baca juga: Ancaman Resesi Global, Harga Minyak Dunia Turun
Seiring dengan harga minyak dunia yang akan semakin tinggi imbas pemangkasan produksi, maka dampaknya akan turut mempengaruhi besaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang di tanggung pemerintah. Subsidi energi berpotensi membengkak jika harga minyak dunia terus terkerek.
"Ini catatan bagi Indonesia, sangat berpengaruh bagi subsidi energi," katanya.
Airlangga pun meminta semua pihak untuk terus mengantisipasi dan mewaspadai perkembangan gejolak global. Sebab keputusan ini dapat membuat harga energi menjadi lebih tinggi sehingga menimbulkan ancaman khusus bagi pasar negara berkembang.
"Oleh karena itu, sektor keuangan kita harus berhati hati, dan kita perlu mengambil langkah yang ekstrem karena langkah itu perlu kita perhatikan," ucap Airlangga.
Ia mengatakan, seluruh dunia saat ini memang sedang menghadapi situasi yang tidak mudah seiring dengan meningkatnya ketidakpastian global. Kondisi ini pun membuat Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi outlook inflasi global di tahun ini lebih dari 8,3 persen.
Baca juga: Harga Minyak Mentah RI Turun, Ini Faktor Penyebabnya
Revisi outlook inflasi itu, kata Airlangga, tidak terlepas dari faktor terganggunya suplai dan permintaan yang mendorong peningkatan harga energi serta pangan. Melonjaknya inflasi di berbagai negara pada akhirnya direspon oleh berbagai bank sentral dengan mengetatkan likuiditas dan menaikkan suku bunga acuan.
Kondisi itu memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, beberapa negara telah menunjukkan perlambatan perekonomian seperti Amerika Serikat, China, serta Rusia dan Ukraina akibat perang antara keduanya yang masih terus berlanjut.
Maka kombinasi pelemahan ekonomi global serta inflasi yang meningkat menyebabkan munculnya isu stagflasi dan resesi. Oleh sebab itu, berbagai risiko ini harus menjadi alarm dan terus diantisipasi.
"Isu stagflasi dan resesi jadi alarm seluruh pembuat kebijakan, dan gejolak eksternal, kami terus harus bertahan. Pemerintah sudah lakukan extra effort jaga stabilitas harga dan menjaga daya beli masyarakat di tengah pemulihan ekonomi nasional," tutup Airlangga Hartarto.
Baca juga: OPEC+ Dikabarkan Bakal Pangkas Produksi Minyak
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.