Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Hadapi Resesi Global 2023, Tingkatkan Investasi dan Produktivitas

Kompas.com - 09/11/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISUresesi ekonomi global’ terus menguat seiring dengan keputusan Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan global tahun 2023.

Menurut IMF, kondisi ekonomi global dapat memburuk secara signifikan tahun 2023 karena negara-negara berada di tengah tekanan perang di Ukraina, harga energi dan pangan yang tinggi, inflasi dan suku bunga yang meningkat tajam.

Sebenarnya, resesi adalah suatu yang biasa dalam siklus ekonomi. Namun pelaku pasar melihat bahwa tren inflasi dan suku bunga yang terjadi belakangan ini berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian.

Supply-side shock recession

Sejauh ini dikenal ada beberapa tipe resesi, meski tidak ada literatur resmi, tetapi kenyataannya memang pernah terjadi dan mengganggu kinerja perekonomian.

Jika melihat kondisi global saat ini, yang akan terjadi pada 2023 adalah tipe resesi yang disebut supply-side shock recession. Resesi tipe ini bermula dari inflasi tinggi yang melanda di berbagai negara diawali oleh tingginya harga energi.

Resesi tipe ini pernah terjadi tahun 1973 akibat masalah pasokan, dan harga minyak mentah. Saat itu harga minyak mentah meroket dan memicu inflasi tinggi. Alhasil bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga yang berdampak pada stagflasi hingga resesi.

Namun, ekonom Amerika Serikat (AS) terkenal Nouriel Roubini baru-baru ini mengatakan resesi ekonomi yang akan datang (tahun 2023) bakal lebih buruk daripada yang terjadi pada tahun 1970-an. (www.bloomberg.com/20/20.2022).

Pendiri Amazon Jeff Bezos, yang menjalankan perusahaan terbesar kedua di AS juga memiliki perkiraan serupa. Ia mengatakan sudah waktunya untuk “memperketat palka.” Jika resesi baru belum dimulai di AS, tetapi itu akan segera terjadi. (www. fortune.com/19/102022).

Selama beberapa bulan terakhir, bank sentral di berbagai negara sangat agresif menaikkan suku bunga sebagai respons atas tren inflasi yang terus meningkat.

Bank sentral AS (The Fed) misalnya, sepanjang tahun ini mengalami kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi antara 3 - 3,25 persen, dan itu masih akan terus berlanjut.

Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75 – 4 persen. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed diperkirakan akan berada di level 4,75 – 5 persen pada Februari 2023.

Sejumlah indikator utama ekonomi AS, kecuali pekerjaan, berjalan ke arah yang salah. Menurut indeks harga konsumen Biro Statistik Tenaga Kerja AS, inflasi berada pada level tertinggi dalam kurun 40 tahun terakhir, karena naik lebih dari 8 persen.

Produk domestik bruto (PDB) telah menurun selama dua kuartal berturut-turut. Pasar saham telah mundur hampir 25 persen dari puncaknya akhir tahun lalu.

Apa yang terjadi selanjutnya? Larry Summers, seorang ekonom terkenal, mantan presiden Harvard University dan mantan Menteri Keuangan AS, mengatakan pengangguran AS perlu naik menjadi 5 persen hingga 7 persen untuk mengembalikan inflasi sesuai dengan target The Fed, 2 persen.

Saat ini, tingkat pengangguran adalah 3,5 persen. Itu berarti sekitar 5 juta orang telah kehilangan pekerjaan selama musim panas 2022.

Kondisi yang mengkhawatirkan juga di negara-negara kawasan Uni Eropa (UE). Pada September 2022, tingkat inflasi di UE adalah 10,9 persen, dengan kenaikan harga tercepat di Estonia, yang memiliki tingkat inflasi 24,1 persen.

Sebaliknya, tingkat inflasi di Perancis adalah 6,2 persen, terendah di UE selama September 2022.

Suku bunga pinjaman baru selama lebih dari tiga bulan dan hingga satu tahun naik 10 basis poin menjadi 1,87 persen.

Bank sentral Hongaria menetapkan suku bunga utama menjadi 10,75 persen pada 13 Juli, menjadikannya suku bunga bank sentral tertinggi di UE pada Juli 2022.

Pada 8 September 2022, European Central Bank (ECB) telah mengambil keputusan dan mengharapkan untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut, karena inflasi tetap terlalu tinggi dan kemungkinan akan tetap di atas target untuk waktu yang lama.

China adalah salah satu negara yang sedikit lebih stabil. Proyeksi oleh IMF yang diterbitkan pada Oktober 2022, memperkirakan tingkat inflasi akan mencapai sekitar 2,2 persen pada tahun 2022.

Meski demikian, ekonomi China mengalami perlambatan akibat kondisi di AS dan UEA dan dampak perang Ukraina.

Tiga ‘angin sakal’ yang dihadapi Asia

Dalam IMF Blog (13 Oktober 2022), ekonom Krishna Srinivasan dan Shanaka J. Peiris menulis, meski tak sedarurat AS dan UEA, negara-negara Asia, termasuk Indonesia mengalami tantangan dari kenaikan inflasi, suku bunga, gangguan supply chain akibat perang Rusia-Ukraina, dan perlambatan ekonomi China

Menurut IMF, rebound ekonomi Asia yang kuat awal tahun ini telah kehilangan momentum, karena selama kuartal kedua inflasi melebihi target bank sentral di sebagian besar negara.

Oleh karena itu, IMF telah memangkas perkiraan pertumbuhan untuk Asia dan Pasifik menjadi 4 persen tahun 2022 dan 4,3 persen tahun 2023, yang jauh di bawah rata-rata 5,5 persen selama dua dekade terakhir.

Meskipun demikian, Asia tetap menjadi titik terang dalam ekonomi global yang semakin meredup. Momentum rebound ekonomi Asia yang memudar disebabkan oleh tiga ‘angin sakal’ yang dasyat, yang akan kembali datang secara berulang.

‘Angin sakal’ pertama adalah pengetatan tajam kondisi keuangan, yang meningkatkan biaya pinjaman pemerintah dan kemungkinan akan menjadi lebih menyempit, karena bank sentral di negara maju terus menaikkan suku bunga untuk menjinakkan inflasi tercepat dalam beberapa dekade.

Mata uang yang terdepresiasi dengan cepat dapat semakin memperumit tantangan kebijakan moneter di negara-negara Asia.

‘Angin sakal’ kedua’ adalah invasi Rusia ke Ukraina yang masih berkecamuk dan terus memicu perlambatan tajam aktivitas ekonomi di UE dan AS yang selanjutnya akan menurunkan permintaan eksternal untuk ekspor dari negara-negara Asia.

‘Angin sakal’ ketiga, adalah kebijakan ketat nol-Covid China dan penguncian terkait, ditambah dengan gejolak yang semakin dalam di sektor real estat.

Itu menyebabkan perlambatan pertumbuhan tidak seperti biasanya, yang pada gilirannya akan melemahkan ekonomi di negara-negara yang terhubung, termasuk negara-negara Asean.

Menurut IMF, prospek yang lebih suram diduga akan dihadapi beberapa negara Asia lainnya.
Sri Lanka, misalnya, bisa mengalami krisis ekonomi yang parah, meskipun pihak berwenang telah mencapai kesepakatan dengan staf IMF tentang program yang akan membantu menstabilkan ekonomi.

Di Bangladesh, perang di Ukraina dan harga komoditas yang tinggi telah menghambat pemulihan yang kuat dari pandemi.

Maladewa, Laos, Papua Nugini, dan Mongolia yang terkungkung utang tinggi akan menghadapi risiko kegagalan membayar.

Meningkatkan investasi dan produktivitas

Meski memproyeksikan akan terjadi resesi global, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen pada 2023.

Namun, pemerintah Indonesia memandang situasi ekonomi global dan geopolitik paruh kedua tahun 2022 dan tahun 2023 sebagai hal yang sangat meresahkan.

Bahkan Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia berhadapan dengan tingkat ketidakpastian dan volatilitas pasar yang tinggi.

Oleh karena itu, ia mendiskusikan dengan beberapa menteri mengenai stress test untuk melihat sejauh mana kekuatan Indonesia bertahan ketika resesi datang.

Terutama mengenai ketahanan mata uang, inflasi, pertumbuhan, dan hal-hal yang berkaitan dengan pangan dan energi, serta dampaknya pada kemiskinan.

Berhadapan dengan ancaman resesi ekonomi global, Presiden Grup Bank Dunia David Malpass menyarankan agar bank sentral di setiap negara mengambil langkah-langkah nyata.

Malpass menyarankan supaya para pembuat kebijakan harus mengalihkan fokus mereka dari mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi.

Pemerintah harus berusaha untuk memperbesar investasi tambahan dan meningkatkan produktivitas, untuk mendorong pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan.

Hal senada ditegaskan oleh Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadilia. Menurut dia, strategi paling utama untuk menghadapi badai resesi adalah memperbesar investasi dan meningkatkan produktivitas.

Ia mencatat realisasi investasi sepanjang April-Juni (triwulan II) tahun 2022 mencapai Rp 302,2 triliun atau tumbuh 35,5 persen dibandingkan capaian pada periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar Rp 223,0 triliun (yoy).

Menurut Bahlil, terkait investasi ada tiga poin penting yang perlu diperkuat, yakni stabilitas politik, leadership, dan kolaborasi.

Artinya, kita dapat terus memperbesar investasi apabila kita mampu menjaga stabilitas politik, memiliki leadership yang kuat dan berkolaborasi secara baik.

Bercermin pada itu, sebagai warga bangsa kita seharusnya awas diri. Jangan sampai, kita menjadi orang yang ikut menciptakan instabilitas politik. Jangan sampai kita ikut merongrong kepemimpinan demi kepentingan Pemilu 2024.

Apabila, kita melakukan hal itu maka kita seperti sedang membangun ‘jalan tol’ yang memulus bangsa kita masuk ke jurang resesi ekononi 2023.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com