Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat DPR Merasa Tidak Dilibatkan dalam Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok...

Kompas.com - 13/12/2022, 11:18 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dengan rata-rata sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan ini berlaku untuk golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) yang masing-masing memiliki kelompok atau golongan tersendiri.

Selain itu, pemerintah juga menaikkan cukai rokok elektronik rata-rata sebesar 15 persen dan 6 persen untuk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) yang berlaku lima tahun atau 2023-2027.

Kebijakan yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 3 November 2022 lalu itu pun sempat menuai kritik dari anggota Komisi XI DPR. Dalam rapat kerja yang berlangsung Senin (12/12/2022), Wakil Ketua Komisi Komisi XI DPR Dolfie menyesalkan kebijakan itu diputuskan tanpa persetujuan pihak parlemen.

Baca juga: Alasan Sri Mulyani Naikkan Cukai Rokok Elektrik Langsung 5 Tahun

"Katanya hasil dari ratas (rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo), tapi sudah masuk di dalam Undang-undang APBN. Nah, ini kami enggak tahu ratasnya kapan, masuk UU APBN-nya kapan?," ungkapnya.

Ia pun menjelaskan, bahwa dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, tepatnya Pasal 5 ayat 4, menyebutkan penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada rancangan APBN dan alternatif kebijakan menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, memerhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, dan disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan.

"DPR yang dimaksud adalah komisi yang membidangi keuangan. Pertanyaan kami adalah apakah ada perbedaan dibahas pada saat RAPBN dengan dibahas setelah menjadi UU APBN?," tanya Dolfie.

Baca juga: Serikat Pekerja Rokok Sebut Ada Campur Tangan Asing dalam Kebijakan Tembakau


Menurutnya, sudah dua kali pemerintah menetapkan kenaikan cukai tanpa persetujuan DPR. Lantaran, di tahun lalu, UU APBN telah disahkan terlebih dahulu, baru kemudian pemerintah meminta konsultasi dengan Komisi XI DPR.

Dolfie merasa komisi keuangan DPR tak pernah membahas apalagi memberikan persetujuan terkait kenaikan cukai rokok tersebut. Ia pun meminta Sri Mulyani untuk tak mengulangi memutuskan kebijakan cukai tanpa pembahasan khusus dengan Komisi XI DPR.

"Jadi untuk menjaga hubungan kesetaraan di dalam hak budgeting DPR, agar ini tidak terulang lagi di kemudian hari," pinta dia.

Baca juga: Cukai Rokok Naik Lagi, Anggota Komisi XI Misbakhun Minta Pemerintah Pikirkan Nasib Petani

Menanggapi kritik itu, Sri Mulyani pun meminta maaf. Bendahara negara itu memastikan, pemerintah tidak berniat untuk tidak menghormati DPR.

Dia menjelaskan, dalam UU APBN sangat eksplisit menggambarkan mengenai target dari penerimaan CHT. Ia bilang, setiap target penerimaan negara telah dibahas secara sangat detail baik di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, termasuk Komisi XI.

Dalam menetapkan target-target penerimaan perpajakan, baik itu pajak maupun bea dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pihaknya telah menyampaikan secara sangat eksplisit landasan dari setiap target tersebut.

"Sehingga waktu APBN sudah ditetapkan, sebetulnya secara eksplisit sudah ada pembahasan mengenai underlying, assumption dari masing-masing target penerimaan negara termasuk penerimaan cukai," ungkapnya.

Baca juga: Pelaku Usaha Industri Tembakau dan Vape Pastikan Tidak Jual Rokok kepada Anak Usia 18 Tahun ke Bawah

Sri Mulyani pun mengusulkan agar saat melakukan pembahasan mengenai rancangan APBN tahun depan, dalam panja penerimaan akan dibahas lebih detail mengenai desain kebijakan mengenai cukai.

"Memang terus terang, saya juga akui selama saya menjadi Menteri Keuangan, selama ini kita menyampaikannya secara terpisah dari APBN juga tapi seolah-olah APBN sudah satu keputusan gelondongan baru kemudian pendalaman. Jadi saya mohon maaf," katanya.

Pada kesempatan itu, Sri Mulyani sempat menjelaskan, kenaikan cukai rokok dilakukan untuk mengendalikan konsumsi. Terutama untuk menangani prevalensi perokok usia 10-18 tahun, yang di dalam RPJMN ditargetkan harus turun ke 8,7 persen pada tahun 2024.

Baca juga: Tak Setuju Kenaikan Cukai Rokok 10 Persen, Petani Tembakau Usul 5 Persen

Selain itu, kenaikan cukai dilakukan dengan pertimbangan konsumsi rokok merupakan salah satu konsumsi terbesar dari rumah tangga miskin, yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan.

Rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan Rp 246.382 per bulan untuk rokok. Padahal uang itu dapat digunakan untuk membeli tahu dan tempe untuk sehingga meningkatkan gizi rumah tangga miskin.

"Dengan adanya cukai sebagai instrumen fiskal untuk mengendalikan konsumsi, memang diharapkan penerapan cukai akan meningkatkan harga, yang kemudian bisa mengurangi pravelensi," ujar Sri Mulyani.

Baca juga: Perusahaan Berlomba Produksi Rokok Murah, Hindari Tarif Cukai yang Tinggi

Di sisi lain, pemerintah juga menaikkan tarif cukai rokok lebih dari setahun atau multiyears, padahal biasanya kenaikan cukai rokok dilakukan setahun sekali. Ia bilang, kebijakan ini untuk memberikan kepastian bagi industri hasil tembakau.

"Multiyears ini memang aspirasinya untuk memberi kepastian, karena memang kalau setiap tahun seperti ini akan drama terus. Jadinya, ada keinginan untuk ada semacam multiyears, kepastian," ungkapnya.

Secara khusus, untuk rokok elektrik dan HPTL yang kenaikan cukainya berlaku lima tahun ke depan, Sri Mulyani menjelaskan ada sejumlah pertimbangan. Ia menyebut, konten lokal dari kedua jenis produk hasil tembakau penitu sangat kecil, di sisi lain efeknya terhadap kesehatan sangat dominan.

Baca juga: Benarkah Kenaikan Tarif Cukai Rokok Bisa Bikin Orang Berhenti Merokok?

"Jadi takut penetrasi ke bawah. Ini adalah masalah melindungi anak-anak karena penetrasi itu dengan flavour (varian rasa) yang macam-macam, ini akan masuk. Sementara dari sisi local content, dari sisi segala macam itu enggak ada sama sekali. Makanya jadi concern-nya kesehatan," papar Sri Mulyani.

Oleh karena itu, dalam rapat kabinet, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui usulan jajarannya dan memutuskan untuk menaikkan cukai rokok elektrik serat HPTL langsung untuk lima tahun ke depan.

Pada kesempatan itu, Dolfie sempat meminta kebijakan kenaikan tarif cukai rokok elektrik dan HPTL tersebut menjadi hanya dua tahun saja. Pertimbangannya, menyesuaikan dengan masa pemerintahan Jokowi yang akan berakhir pada 2024.

Baca juga: Serikat Pekerja Rokok Sayangkan Cukai Tembakau Naik 10 Persen hingga 2024

"Mungkin yang terkait cukai rokok elektrik dan HPTL ini kan mintanya sampai lima tahun ke depan, kita batasi sesuai usia pemerintahan aja, Bu, dua tahun," pintanya.

Sri Mulyani pun menyambut usulan itu, meski sempat melakukan nego untuk tetap bisa lebih dari dua tahun.

"Baik, enggak ada masalah kalau gitu," katanya.

"Kalau kita cari di tengahnya gimana, Pak?," sambung Sri Mulyani.

Namun Dolfie menekankan agar kenaikan cukai rokok elektrik dan HPTL disesuaikan dengan sisa jabatan pemerintahan Jokowi yang tinggal dua tahun lagi. Pada akhirnya, Sri Mulyani menyetujui untuk mempertimbangkan usulan itu.

Baca juga: Bea Cukai Mataram Musnahkan Ponsel hingga Rokok Ilegal Senilai Ratusan Juta Rupiah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com