Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Klaim Hilirisasi Nikel Serap Ribuan Tenaga Kerja

Kompas.com - 14/08/2023, 07:08 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mengeklaim, salah satu dampak dari kebijakan hilirisasi nikel adalah penyerapan tenaga kerja. Oleh sebab itu, nilai tambah yang didapat Indonesia dari kebijakan hilirisasi tak sekadar 10 persen.

Hal tersebut untuk merespons pernyataan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri soal kebijakan hilirisasi nikel yang untungkan China, dan RI hanya menikmati 10 persen dari nilai tambah hilirisasi.

Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto mengatakan, mayoritas dari investasi hilirisasi nikel dilakukan di wilayah Sulawesi dan Halmahera yang sebelumnya memiliki gap aktivitas ekonomi yang besar dengan Jawa.

Baca juga: Bantah Jokowi, Faisal Basri Sodorkan Data Hitungan Hilirisasi yang Dinilai Untungkan China

Maka dengan adanya investasi tersebut terjadi penciptaan lapangan pekerjaan, yang bahkan upahnya lebih besar dari upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta.

"Dengan adanya investasi ini, terjadi penciptaan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi yang besar, yang tidak akan terjadi tanpa adanya hilirisasi nikel ini," ujar Seto dalam keterangan tertulis dikutip Senin (14/8/2023).

Ia menuturkan, seperti pada PT Indonesia Marowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah, saat ini jumlah pekerjanya mencapai 74.700 orang. Lalu pada PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara memiliki jumlah pekerja sekitar 56.000 orang.

"Hal ini belum memperhitungkan kawasan industri lain seperti VDNI (Virtue Dragon Nickel Industry), Gunbuster, dan Pulau Obi," imbuhnya.

Menurut Seto, dampak penciptaan lapangan pekerjaan dari hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah dan Halmahera juga berdampak positif terhadap penurunan angka kesenjangan pendapatan (koefisien gini).

Baca juga: Dikritik WTO-IMF soal Hilirisasi Nikel, Jokowi: Tetap Kita Teruskan

Angka koefisien gini di Sulawesi Tengah dan Halmahera turun dari 37,2 persen dan 32,5 persen di tahun 2014 menjadi sebesar 30,8 persen dan 27,9 persen di tahun 2022.

Di sisi lain, untuk IWIP dan IMIP, jumlah tenaga kerja lokal rata-rata mencapai 85-90 persen dari total tenaga kerja. Gaji yang mereka hasilkan pun juga jauh lebih tinggi dari UMR DKI Jakarta.

"Rata-rata gaji di IWIP bisa mencapai 7 juta sebulan, bahkan lebih tinggi dari UMR Jakarta," kata dia.

Sebelumnya, Faisal menyebut nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional dari kebijakan hilirisasi nikel tak lebih dari sekitar 10 persen saja. Lantaran hampir semua perusahaan smelter nikel di Indonesia 100 persen dimiliki oleh pengusaha China.

Tenaga kerja di perusahaan smelter juga disebut banyak diisi oleh orang China, yang justru bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir.

Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya, muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dollar AS per pekerja per bulan

Faisal menyebut, salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp 17 juta hingga Rp 54 juta, sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum.

Padahal dengan para pekerja China memegang status visa kunjungan, maka boleh jadi mereka tidak membayar pajak penghasilan.

"Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, namun nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China," kata Faisal dalam blog-nya faisalbasri.com dikutip Kompas.com, Jumat (11/8/2023).

Baca juga: Jawab Kritikan Faisal Basri soal Hilirisasi Nikel, Stafsus Sri Mulyani: Anda Keliru!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com