Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Plus Minus Perdagangan Karbon

Kompas.com - 13/09/2023, 12:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan berbagai persyaratan yang diminta oleh pemerintah Norwegia di antaranya menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium) dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai institusi pengelola dana RBP REDD+ di daerah.

Semua permintaan tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun sampai batas waktu akhir perjanjian tersebut; faktanya pemerintah Norwegia tidak pernah memenuhi janji untuk membayar dana yang dimaksud.

Padahal dana kompensasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung aksi-aksi Indonesia mendorong rehabilitasi hutan dan penanggulangan degradasi dan deforestasi hutan di lapangan.

Oleh sebab itu, dengan berat hati pada 10 September 2021, pemerintah Indonesia secara sepihak mengakhiri kerja sama dengan pemerintah Kerajaan Norwegia tentang perdagangan karbon karena tidak ada kejelasan realisasi pembayaran tahap pertama yang dijanjikan.

Dalam skala kecil dan terbatas pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.

Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare.

Terlepas dari potensinya dan kelebihan dari perdagangan karbon yang dapat menurunkan emisi dan mendatangkan nilai ekonomi yang cukup besat bagi Indonesia sebagai suatu negara, implementasi perdagangan karbon baik secara langsung maupun melalui bursa karbon juga mempunyai beberapa kelemahan.

Menurut praktisi dan pemerhati lingkungan, kelemahan perdagangan karbon di antaranya adalah:

Pertama, terkait dengan efektivitas dalam mitigasi iklim, belum ada peta jalan yang jelas, hingga kegiatan yang seolah-olah melegalkan lingkungan.

Senior Campaign Strategist Greenpeace International, Tata Mustasya menilai perdagangan karbon dipandang hanya solusi tingkat kedua dalam menurunkan emisi dan memitigasi krisis iklim karena masih memiliki banyak kelemahan.

Implementasi perdagangan karbon ini juga tidak menyelesaikan persoalan sebenarnya terkait emisi yang terus meningkat dan dihasilkan pihak pencemar.

Secara prinsip, implementasi perdagangan karbon tidak memadai karena memiliki semacam lisensi untuk tetap mencemari dengan membeli dan menyeimbangkan jejak karbon.

Mendorong perdagangan karbon masih jauh berada di jalur yang tepat untuk memitigasi krisis iklim.

Kedua, dari aspek kebijakan, upaya menurunkan emisi dan memitigasi krisis iklim seharusnya dilakukan dengan reformasi fiskal, yakni menerapkan transisi hijau dari sektor ekonomi pencemar ke sektor bersih.

Adapun implementasinya dapat berupa kebijakan yang konsisten untuk disinsentif untuk sektor pencemar dan insentif untuk sektor bersih. Termasuk penerapan pajak karbon yang konsisten dan berkeadilan yang nantinya akan dilakukan pada 2025.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com