Hal ini memang akan menambah tekanan terhadap nilai tukar, tetapi bank sentral bisa menjalankan triple intervention dan instrumen barunya, yakni SRBI.
Dalam kondisi global yang penuh tekanan saat ini, menjaga yield differential dianggap lebih penting bagi kebijakan moneter.
Baca juga: Kekhawatiran Kenaikan Suku Bunga Meningkat, Saham-saham Teknologi di AS Jatuh
Pada pertengahan September 2023 ini, selisih yield surat berharga negara (SBN) dengan surat berharga AS atau US treasury (UST) tenor 10 tahun telah naik ke 2,35 persen.
Selama selisihnya masih di atas level terendah yang pernah terjadi di 2,12 persen, yield SBN masih cukup menarik bagi investor asing, apalagi pemerintah terus berupaya menekan inflasi domestik.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Agustus sebesar 3,27 persen secara tahunan sehingga inflasi Indonesia sejak Januari hingga Agustus 2023, tercatat sebesar 1,33 persen.
Angka itu masih berada dalam target bank sentral sekitar 2 sampai 4 persen hingga akhir 2023.
Baca juga: Inflasi AS Naik, Indeks Dow Jones Berakhir Merah
"Dengan menjaga yield di pasar keuangan tetap menarik, BI dapat mempertahankan suku bunga meski The Fed masih membuka kemungkinan untuk menaikkan suku bunganya satu kali lagi ke depan,’’ ungkap Emil.
Emil memperkirakan, suku bunga The Fed dan suku bunga acuan BI 7-day reserve repo rate tidak akan bergerak hingga akhir tahun meski dalam jangka pendek masih ada tekanan inflasi.
Bank sentral secara global akan lebih mempertimbangkan prospek pertumbuhan dan inflasi di tahun depan dalam menentukan arah kebijakannya hingga akhir tahun ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya