Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Kebijakan Kepabeanan dan Cukai 2024 Dukung Visi Indonesia Maju 2045

Kompas.com - 29/11/2023, 16:00 WIB
Dwi NH,
A P Sari

Tim Redaksi

Guna mencapai visi Indonesia Maju 2045, APBN 2024 pun didesain untuk mempercepat transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca juga: Sewindu Percepatan Transformasi Ekonomi, Pemerintah Fokus Jaga Kesehatan APBN

Target belanja negara yang mencapai Rp 3.325 triliun dipenuhi dengan pendapatan negara sebesar Rp 2.802 triliun dan pembiayaan Rp 522 triliun.

Dengan arsitektur tersebut, APBN diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,2 persen dengan inflasi yang terjaga di angka 2,8 persen.

Salah satu peran bea cukai adalah sebagai kontributor penerimaan negara (revenue collector), sehingga turut mengemban amanat pendapatan negara, yaitu pada penerimaan perpajakan.

Target penerimaan DJBC pada 2024 sebesar Rp 321 triliun berkontribusi dalam agenda pembangunan nasional 2024, seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) yang dianggarkan sebesar Rp 40 triliun.

Baca juga: Presiden hingga Menteri Boleh Ikut Kampanye Pemilu 2024, Ini Aturannya

Tak lupa agenda pemilihan umum (pemilu) yang menyerap anggaran Rp 37,4 triliun.

Belum lagi program pencegahan stunting, dengan intervensi spesifik pada peningkatan gizi ibu hamil serta imunisasi, dan intervensi sensitif pada penyediaan fasilitas kesehatan (faskes) dan minuman bernutrisi, air minum, serta sanitasi layak.

Kebijakan kepabeanan dan cukai 2024

Terdapat beberapa kebijakan kepabeanan dan cukai pada 2024, salah satunya adalah penerimaan negara yang optimal.

Dalam upaya pencapaian target penerimaannya, bea cukai tentu akan menghadapi tantangan yang tidak mudah, baik eksternal maupun operasional.

Baca juga: Pengusaha Keberatan Operasional Angkutan Barang Dibatasi Selama Libur Natal 2023

Adapun tantangan dari faktor eksternal berupa tensi geopolitik dan tekanan ekonomi global yang belum mereda. Hal ini diperkirakan berlanjut sampai 2024. Salah satu imbasnya adalah moderasi pada harga komoditas, terutama mineral dan crude palm oil (CPO).

Tantangan faktor operasional juga tidak kalah penting, terutama pada penerimaan cukai rokok, yang menghadapi tren konsumsi down trading ke jenis rokok dengan cukai lebih rendah atau beralih ke rokok elektrik.

Tantangan cukai sendiri belum selesai karena masih dibayangi dengan peredaran rokok ilegal. Sedangkan penerimaan BK menghadapi tantangan operasional berupa kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral pada Juni 2024.

Bea cukai menyadari bahwa di balik tantangan tersebut, tersembunyi peluang yang dapat dimaksimalkan. Perekonomian nasional pada 2024, misalnya, yang diperkirakan tumbuh 5,2 persen. Hal ini juga diartikan bahwa konsumsi domestik dan aktivitas ekonomi masih terjaga.

Baca juga: Investor Domestik di IKN Lebih Sat-Set

Selain itu, ruang untuk penyelarasan proses bisnis (probis), teknologi informasi (TI), serta penyederhanaan pelayanan juga dapat dilakukan.

Peluang penambahan barang kena cukai, serta sinergi dengan aparat penegak hukum dan kementerian atau lembaga (K/L) pun masih terbuka.

Menjawab tantangan dan memaksimalkan peluang, bea cukai melakukan upaya intensifikasi tarif cukai hasil tembakau (CHT), melalui kebijakan yang multiyears pada 2023 dan 2024 dengan rata-rata kenaikan 10 persen dan jenis sigaret kretek tangan (SKT) maksimal 5 persen.

Demikian pula dengan ekstensifikasi BKC yang dilakukan melalui penambahan objek cukai baru dan merealisasikan pemungutan cukai produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), dengan tetap memperhatikan pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Baca juga: Rekomendasi Apindo untuk Pemimpin RI Masa Depan Hadapi 3 Tantangan Ekonomi Digital

Selain itu, bea cukai juga berupaya untuk melakukan penyederhanaan prosbis, terutama cukai. Bahkan layanan yang berbasis digital dilakukan pengembangan, serta mengintegrasikan layanan e-commerce atau marketplace.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com