Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Susu Impor dan Nasib Peternak Sapi Perah Rakyat yang Merana

Kompas.com - Diperbarui 24/01/2024, 19:15 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Kebutuhan susu dalam negeri semakin bertambah dari tahun ke tahun. Data terbaru, kebutuhan rata-rata susu di Indonesia sudah mencapai 4,4 juta ton per tahun.

Ironisnya, peternak susu sapi perah lokal hanya bisa memenuhi sekitar 20 persen saja. Sementara sisanya sebesar 80 persen susu dipenuhi dari impor (susu impor).

Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Agus Warsito, mengatakan salah satu masalah utama peternak sapi perah lokal tidak bisa berkembang karena pemerintah tidak memberikan proteksi dari membanjirnya susu impor dari luar.

Yang jadi masalah, susu impor dari luar negeri selama ini nyaris seluruhnya berbentuk susu skim atau bubuk kering. Dari sisi harga susu impor ini memang jauh lebih murah dibandingkan susu segar yang dihasilkan peternakan lokal.

Baca juga: Biang Kerok Indonesia Sangat Bergantung Susu Impor

"Kita senang saja bersaing kalau yang diimpor susu segar cair. Tapi yang terjadi, susu impor itu susu skim. Rakyat kita selama ini dijejali dengan produk susu skim bubuk," beber Agus saat dihubungi pada Rabu (24/1/2024).

Impor susu dalam bentuk skim sangat beralasan, karena dalam susu bubuk memudahkan dalam pengiriman. Namun di sisi lain, susu dalam bentuk kering tentunya mengorbankan kualitas karena hilangnya nutrisi yang dikandungnya.

"Memang jadi efisien (susu skim impor). Tapi jatuhnya di sisi lain kualitasnya turun jauh. Karena susu yang awalnya cair (di negara asal) dikeringkan dengan pemanasan berkali-kali supaya jadi skim," ungkap Agus.

"Kemudian setelah jadi bubuk, dikirim ke Indonesia, oleh pabrik-pabrik susu di sini dicairkan lagi dengan pemanasan lagi. Artinya susu kembali mengalami proses pemanasan lagi berkali-kali. Otomatis nilai gizinya turun drastis, tinggal 40-45 persen saja," kata dia lagi.

Baca juga: Ironi Program Susu Gratis, tapi 78 Persen Susu RI Masih Impor

Agus yang juga menjabat Ketua Koperasi Susu Andini Luhur Kabupaten Semarang ini berujar, banyak pabrik susu di Indonesia kemudian mencampur lagi susu skim yang sudah dicairkan melalui ultra proses dengan air. Imbasnya, kualitas susu lagi-lagi merosot.

"Sudah mengalami ultra proses berkali-kali, lalu masih dicampur air, lalu dijual mahal oleh pabrik susu di sini. Jadi ibaratnya banyak orang Indonesia realita sebenarnya minum air tapi rasa susu," ucap dia.

Agus secara blak-blakan menyebut, banyak susu dalam UHT (ultra high temperature) kemasan yang dijual di Indonesia komposisinya malah lebih dominan airnya dibanding susunya.

"Makanya anak-anak penduduk Indonesia konsumsi susunya setiap tahun naik, tapi tumbuh (badannya) tidak maksimal. Karena yang diminum bukan susu segar seperti di negara lain," tutur Agus.

"Anak-anak kita di perkotaan, itu mengonsumsi susu bubuk yang dicairkan lagi, lalu dikasih air. Konsumsi susu per kapita orang Indonesia memang sudah 16-17 liter per tahun. Tapi ingat, itu bukan susu segar," bebernya lagi.

Baca juga: Mengapa RI Sangat Bergantung Impor Susu?

Di negara yang jadi pengekspor susu, masyarakatnya mengkonsumsi susu segar, bukan susu olahan, terlebih yang dicampur dengan air. Itu sebabnya, susunya pun jauh lebih berkualitas dibandingkan susu yang banyak beredar di Indonesia.

"Kalau di negara-negara yang dia mengolah susu segar, pertumbuhan anak-anak yang mengonsumsi susu segar lebih bagus, kecerdasannya juga bagus, sementara negara kita dijejali susu skim," kata Agus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Whats New
Bank Muamalat Buka Lowongan Kerja hingga 31 Mei 2024, Cek Posisi dan Syaratnya

Bank Muamalat Buka Lowongan Kerja hingga 31 Mei 2024, Cek Posisi dan Syaratnya

Work Smart
Viral Video Youtuber Korsel Diajak Mampir ke Hotel, Ini Tanggapan Kemenhub

Viral Video Youtuber Korsel Diajak Mampir ke Hotel, Ini Tanggapan Kemenhub

Whats New
Finaccel Digital Indonesia Berubah Nama jadi KrediFazz Digital Indonesia

Finaccel Digital Indonesia Berubah Nama jadi KrediFazz Digital Indonesia

Whats New
Dampak Fluktuasi Harga Pangan Awal 2024

Dampak Fluktuasi Harga Pangan Awal 2024

Whats New
Mengenal 2 Fitur Utama dalam Asuransi Kendaraan

Mengenal 2 Fitur Utama dalam Asuransi Kendaraan

Earn Smart
Penggunaan Gas Domestik Didominasi Industri, Paling Banyak Industri Pupuk

Penggunaan Gas Domestik Didominasi Industri, Paling Banyak Industri Pupuk

Whats New
Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Whats New
Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Whats New
Pasar Kripto Berpotensi 'Rebound', Simak Prospek Jangka Panjangnya

Pasar Kripto Berpotensi "Rebound", Simak Prospek Jangka Panjangnya

Earn Smart
Asosiasi 'Fintech Lending' Buka Suara Soal Pencabutan Izin Usaha TaniFund

Asosiasi "Fintech Lending" Buka Suara Soal Pencabutan Izin Usaha TaniFund

Whats New
Pihak Minimarket Diminta Ikut Tanggung Jawab Keamanan Parkir, Asosiasi: Kami Sudah Pasang CCTV dan Beri Peringatan

Pihak Minimarket Diminta Ikut Tanggung Jawab Keamanan Parkir, Asosiasi: Kami Sudah Pasang CCTV dan Beri Peringatan

Whats New
Pasar Kripto 'Sideways', Simak Tips 'Trading' untuk Pemula

Pasar Kripto "Sideways", Simak Tips "Trading" untuk Pemula

Earn Smart
Sederet Langkah Kemenhub Pasca Kasus Kekerasan di STIP Jakarta

Sederet Langkah Kemenhub Pasca Kasus Kekerasan di STIP Jakarta

Whats New
Harga Emas Terbaru 10 Mei 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 10 Mei 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com