Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Desa Gununghalu, Bisa Swasembada Energi Lewat Sungai

Kompas.com - 27/01/2024, 19:20 WIB
Elsa Catriana,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Di tengah  pemerintah menggencarkan transisi energi, ada salah satu desa di Kabupaten Bandung Barat yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan air menjadi sumber energi utamanya.

Kampung Tangsijaya, Desa Gununghalu, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat kompak untuk mengelola dan memanfaatkan arus sungai menjadi energi listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Sekretaris Koperasi sekaligus penanggung jawab PLTMH Toto Sutanto bercerita, mulanya ide memanfaatkan sungai muncul dari inisiatif kampung tetangga yang sudah memanfaatkan energi air sebagai sumber energi listriknya dengan kincir air.

Baca juga: Transisi Energi, Perusahaan Garmen di Bandung Ini Tak Lagi Pakai Batu Bara

Namun kapasitas energi yang dihasilkan hanya mampu memproduksi listrik untuk 1 atau 2 lampu saja. "Kecil-kecilan tapi yah hanya bisa buat penerangan saja," ujarnya saat ditemui media dalam Jelajah Energi Jawa Barat bersama IESR, Kamis (25/1/2024).

Kemudian di tahun 2004, ide para tetua di kampung tersebut pun terdengar hingga ke wilayah-wilayah lain di Jawa Barat. Seorang peneliti dari Cihanjuang, Kota Cimahi pun tergerak untuk melakukan penelitian mengenai pembangkit listrik tenaga air di kampung itu.

Peneliti itu membantu warga membangun pembangkit listrik yang lebih besar memakai generator.

Selama peneliti itu berada di kampung itu, Toto pun semakin besar rasa keinginan tahunya untuk mengembangkan PLTMH di kampung tercintanya.

"Kapasitasnya 3.000 watt atau 3 KW. Nah dari sanalah saya tertarik untuk mengembangkan PLTMH ini," imbuhnya.

Singkatnya, PLTMH itu pun akhirnya resmi dibangun pada 2007. Pemerintah pun melirik  karya kreativitas  desa itu.  Desa Gununghalu pun mendapatkan dana hibah dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat untuk merawat dan menjaga fasilitas itu.

Hingga saat ini ada 80 dari 90-an rumah yang listriknya disuplai menggunakan PLTMH. Masing-masing rumah tangga mendapatkan jatah 450 watt dengan biaya iuran Rp 25.000 per bulan.

"Tapi untuk fasilitas umum seperti masjid dan sekolah itu gratis pakai dana hibah itu juga, tapi di sini mayoritas penduduk pakai PLTMH listriknya," jelas dia.

Desa ini pun tak berhenti berinovasi, Toto bersama warganya ingin terus mengembangkan pemanfaatan energi terbarukan itu yang bisa menghasilkan pendapatan bagi masyarakat sekitar.

Baca juga: Transisi Energi Berpotensi Buka 3,2 Juta Lapangan Pekerjaan Baru

Toto bersama warganya pun sepakat untuk mendirikan koperasi Rimba Lestari pada tahun 2010. Lewat koperasi itu warganya kini memiliki 2 unit usaha yakni pengembangan PLTMH serta pusat pengolahan kopi arabika dan robusta.

Kopi yang ditanam oleh warga desa itu akan dibeli koperasi Rimba dengan harga yang kompetitif yakni mulai Rp 10.000 hingga Rp 18.000 per kilogram.

Semua proses produksinya menggunakan energi terbarukan mulai dari proses penggilingan hingga packaging.

Produk kopi yang diberi merek Tangsi Wangi itu pun dijual ke berbagai kota dari Jakarta hingga Jawa Timur.

Dalam setahunnya, koperasi itu berhasil meraup omzet hingga ratusan juta rupiah dari usaha kopinya.

Kembali ke pengembangan PLTH, fasilitas energi terbarukan itu pun harus terus dipantau operasionalnya agar terjaga dengan baik. "Sebab yang jadi PR besarnya adalah ketika sampah-sampah sungai masuk ke generator itu sulit. Atau ketika lagi banjir juga suka over kapasitas jadi harus dipantau," katanya.

Lantaran Toto tak mungkin tiap hari harus ke sungai untuk menjaga operasional PLTM itu, dirinya pun menugaskan anak muda di sana untuk bergantian memantau.

Imas Wiwi, salah satu warga di desa itu, merasa bersyukur dengan adanya PLTMH yang sekarang.

Sebab pada saat pemakaian listrik lewat kincir air, tak jarang dia mendapatkan kesulitan karena keterbatasan listrik. "Dulu masih suka hidup-mati ketika pakai kincir. Dipakai buat masak nasi enggak kuat, setrika juga enggak kuat, penerangan saja enggak normal," jelasnya.

"Tapi setelah ada PLTMH yah senang. Masak busa pakai listrik, setrika pakai listrik, mesin cuci pakai lustrik jadi sangat terbantu. Dipakai buat oven sama mixer juga kuat," sambungnya.

Suri, warga desa lainnya, mengungkapkan,  listrik PLN memang  tersedia, namun masyarakat yang menggunakannya hanya hitungan jari saja.

Suri bilang, alasan lebih memilih menggunakan PLTMH daripada listrik PLN adalah karena ekonomis.

"Kalau pakai lustrik PLN itu mahal, bisa Rp 100.000-150.000. Sementara kalau pakai PLTMH lebih murah, hanya Rp 25.000 sebulan bisa pakai semuanya," katanya.

Sementara itu, Manajer Program Transformasi Energi, IESR Deon Arinaldo mengungkapkan, PLTMh Gununghalu bisa jadi contoh bagaimana pemanfaatan energi terbarukan bisa diptimalkan untuk mendukung potensi dan kearifan lokal.

"Ini contoh nyata energi terbarukan dalam mewujudkan demokratisasi energi. Masih ada potensi PLTMh di Jawa Barat berdasarkan kajian IESR sekitar 200-1.000 MW. Pemerintah perlu mendukung dengan memberikan penguatan kapasitas BUMDes atau koperasi masyarakat untuk mengelola pembangkit listrik terbarukan skala kecil tersebar," kata Deon Arinaldo.

Baca juga: Hasil Survei, Subsidi Kendaraan Listrik Jadi Program Transisi Energi Paling Populer

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com