“Jadi, kalau RPP itu dijadikan UU, dampaknya sangat besar pada petani. Sebab, produksi tembakau akan dibatasi,” kata Nurhadi sebagaimana diberitakan Tribunnews, Jumat (1/12/2023).
Ia menjelaskan, terdapat 1.500 petani tembakau di Tulungagung pada 2023. Mereka mengelola lahan tembakau dengan luas 1.017 ha.
Dalam 1 ha, mereka bisa memproduksi hingga 1,7 ton tembakau kering rajang. Harga jualnya pun meningkat sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan besar.
“Pada 2022, jenis tembakau yang harga jualnya hanya Rp 40.000 per kg, (mengalami kenaikan harga) menjadi Rp 80.000 per kg pada 2023. Sementara, jenis tembakau berkisar Rp 70.000 - Rp80.000 per kg, bisa naik menjadi Rp 125.000 - Rp 130.000 per kg,” papar Nurhadi.
Penjabat (Pj) Bupati Tulungagung Heru Suseno pun memahami upaya para insan pertembakauan, seperti APTI, untuk memperjuangkan aspirasi petani tembakau.
“Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulungagung menyadari bahwa sektor tembakau memiliki peran penting dalam perekonomian daerah, terutama dalam hal kontribusinya terhadap pendapatan negara,” ucap Heru.
Berdasarkan data, cukai tembakau Jawa Timur menyumbang Rp 139 triliun ke pendapatan negara pada 2022. Angka ini terus meningkat hingga Agustus 2023, yaitu menjadi Rp 129 triliun.
Sementara itu, cukai tembakau di Kabupaten Tulungagung sendiri menyumbang sekitar Rp 150 miliar pendapatan negara.
Kekhawatiran mengenai RPP Kesehatan juga disampaikan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI).
Ketua GAPPRI Henry Najoan mengatakan, selama ini, penyusunan RPP Kesehatan tidak melibatkan partisipasi seluruh pihak, khususnya IHT. Sebab, banyak pasal yang ditambahkan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan sektor tersebut.
Baca juga: Ancaman Dampak Kerugian Negara dan PHK Massal Jika Pasal Tembakau pada RPP Kesehatan Disahkan
Ia juga menyoroti soal pengaturan batasan tar dan nikotin. Menurut Henry, hal ini akan menghilangkan ciri khas produk rokok kretek.
“Pengaturan tersebut akan berdampak pada hilangnya budaya lokal kretek. Kami berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali pengaturan ini,” ujarnya seperti diberitakan Antara, Rabu (20/12/2023).
Menurutnya, diperlukan penyesuaian pasal-pasal dalam RPP Kesehatan. Sebab, jika dipaksakan, produksi dan permintaan sektor IHT akan menurun. Hal ini juga mengakibatkan penurunan output hingga 26,49 persen dan tenaga kerja hingga 10 persen pada industri rokok.
“Kita (Indonesia) ingin mengedepankan kesehatan, tetapi tidak dengan cara yang sporadis karena akan menimbulkan guncangan yang lebih besar di sisi ekonomi,” tegas Henry.
Henry berharap, pemerintah dapat mencari solusi yang seimbang untuk melindungi kesehatan masyarakat tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.