Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Pasca-Jokowi, Indonesia di Ambang "Triple" Defisit

Kompas.com - 27/06/2024, 08:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam salah satu rilis Menteri Keuangan Sri Mulyani, ia menyampaikan bahwa “anggaran makan gratis dan bergizi, sudah on budget sebesar Rp 71 triliun dalam asumsi dasar 2025 dengan range deficit anggaran 2025 sebesar 2,45 persen".

Artinya, pemerintahan Prabowo-Gibran, akan mengalokasikan program MGB tersebut secara multy years hingga 2029.

Exit strategy

Dalam judul advertorial kerangka ekonomi makro 2025, terpampang tulisan “Akselerasi Pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.”

Tema ini menjadi pesan yang menyiratkan makna bahwa ekonomi berkelanjutan, perlu didukung juga tatanan fiskal berkelanjutan.

Postur anggaran yang besar dan didominasi oleh pengeluaran untuk konsumsi, justru menjadikan APBN besar secara kuantitatif, tapi rendah secara kualitatif. Hal tersebut terlihat kontribusi sektor-sektor PDB terhadap penerimaan negara.

Dalam bahan tayang Dirjen Pajak dalam PEM-PPKF 2025, disampaikan bahwa realisasi penerimaan pajak yang tumbuh positif hingga April 2024 adalah PPN dan PPNBM sebesar 5,93 persen dari target 26,93 persen.

Sementara PBB dan pajak lainnya, PPh Migas dan Non Migas semuanya tumbuh negatif.

Data ini menggambarkan bahwa sektor konsumsi yang menjadi penyelamat penerimaan pajak hingga April 2024. Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa konsumsi masih menjadi penyelamat ekonomi dari sisi penerimaan negara.

Hal ini juga sekaligus menggambarkan bahwa pemerintah sangat bergantung pada konsumsi sebagai sumber pendapatan utama.

Menurut hemat penulis, konsumsi yang tinggi sering kali didorong oleh kelompok pendapatan tinggi, yang dapat menyebabkan peningkatan ketimpangan jika pemerintah tidak menginvestasikan kembali pendapatan tersebut ke dalam program yang mendukung kelompok pendapatan rendah.

Selain itu, negara yang konsumsinya tinggi cenderung mengimpor lebih banyak barang dan jasa, yang dapat menyebabkan defisit perdagangan dan tekanan pada nilai tukar mata uang dalam kondisi pasar uang fluktuatif di tengah ketidakpastian global yang masih terjadi.

Pemerintah perlu menyeimbangkan antara mendorong konsumsi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memastikan bahwa ada investasi yang cukup dalam aset produktif dan layanan publik untuk pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.

Diversifikasi sumber pendapatan dan pengelolaan kebijakan fiskal yang prudent adalah kunci untuk mengurangi risiko yang terkait dengan ketergantungan berlebihan pada konsumsi.

Kualitas ekonomi yang masih rendah dapat dilihat pada sektor-sektor ekonomi yang mengalami kontraksi dan perlambatan di Triwulan I 2024.

Padahal, sektor ekonomi dimaksud, paling banyak menyerap lapangan kerja (employment absorber), tetapi mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja pada Triwulan I-2024.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com