Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dian Yuanita Wulandari
Project and Business Development Manager

Praktisi agribisnis; Project and business development manager sebuah kantor agribisnis di Jakarta; Konsultan independen beberapa proyek agribisnis strategis; Alumnus Fakultas Kehutanan dan Magister Manajemen Agribisnis UGM dan aktif di Asosiasi Logistik Indonesia dan International of Food and Agribisnis Management Association (IFAMA).

Isu Pangan dalam Kontestasi Pilpres

Kompas.com - 12/06/2023, 15:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PANGAN merupakan salah satu isu primadona dalam kampanye pemilu presiden (pilpres). Setiap kandidat selalu berebut atensi atas siapa yang paling konkret menawarkan ide untuk meraih kedaulatan pangan dalam negeri.

Kendati krusial dan menarik perhatian, nyatanya banyak pihak, terutama aktor politik, masih gagap dalam memetakan masalah pangan di negeri ini. Acap kali persoalan pangan dikaitkan dengan swasembada. Pokoknya produksi harus maksimal, stop impor, genjot ekspor. Dialektika lama yang terus bergulir setiap kampanye pilpres.

Proklamator kita, Soekarno, dalam buku berjudul Mustikarasa secara implisit mengungkapkan harapannya atas kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Soekarno menyatakan, pangan adalah hidup matinya bangsa. Hal ini berarti bahwa pangan perlu dipandang secara utuh, holistik, dan komprehensif.

Baca juga: Bapanas Terbitkan Beleid Pola Pangan Harapan, Ini Tujuannya

Kompleksitas Isu Pangan

Menengok isu pangan yang diusung pada momen dua pilpres terakhir, rasanya ide-ide yang ditawarkan masih bersifat populis. Padahal, perlu gagasan konkret dan aksi strategis demi memperkuat kedaulatan pangan bangsa ini.

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan program kerja pemerintah meresolusi isu pangan, ada baiknya kita merujuk pada indeks ketahanan pangan dunia atau Global Food Security Index (GFSI). Indeks tersebut diukur berdasarkan empat indikator, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).

Hasil penilaian GFSI 2022 menunjukkan, indeks ketahanan pangan Indonesia sebesar 60,2. Dengan angka itu, Indonesia berada di peringkat 69 dari 116 negara. Meski secara indeks mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan indeks sepuluh tahun terakhir, namun ternyata tak serta merta mengangkat Indonesia pada peringkat yang lebih tinggi.

Baca juga: Revitalisasi Agroforestri Untuk Air, Energi dan Pangan

Dari aspek keterjangkauan menunjukkan bahwa harga pangan di Indonesia memang relatif terjangkau dibanding negara-negara lain. Sayangnya, dari aspek ketersediaan, kualitas nutrisi, serta keberlanjutan dan adaptasi, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan rata-rata negara Asia Pasifik. Bahkan negara kita belum mampu menyamakan posisi dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Fakta itu memuat pesan bahwa meski Indonesia dinilai berhasil membangun infrastruktur pertanian, sehingga memungkinkan penyediaan pangan dengan harga terjangkau dan stabil, namun banyak aspek ketahanan pangan yang belum menjadi fokus perbaikan.

Indonesia masih belum optimal dalam memastikan produksi pertanian terlindung dari resiko eksternal. Hal ini bukan tanpa bukti. Mitigasi kita terhadap peristiwa La Nina dan El Nino masih terlampau rendah yang pada akhirnya berdampak pada anjloknya produksi pertanian.

Intensitas gagal panen di daerah sentra produksi akibat bencana seringkali mengguncang ketersediaan pangan di sentra konsumsi, terutama daerah perkotaan. Ada pula lesson learnt atas perang Rusia-Ukraina yang tanpa diduga telah mendisrupsi pasokan pupuk kimia dalam negeri.

Selain itu, negara kita belum berhasil memperbaiki kualitas pangan dengan meningkatkan keragaman pangan dan standar gizi. Ketimpangan antara tingginya limbah pangan (food loss and waste) di saat kasus stunting semakin meluas belum menjadi buah pikiran yang perlu segera dituntaskan. Indonesia merupakan negara ketiga penghasil limbah pangan terbanyak di dunia.

Pada saat yang bersamaan Indonesia tercatat sebagai negara dengan beban anak stunting kelima di dunia. Data pangan kita juga masih karut-marut, tersebar di lintas instansi dan bersifat statistik sektoral.

Pada akhirnya ketidakmapanan data menelurkan kebijakan yang kurang strategis, misalnya pembukaan keran impor yang justru bersamaan dengan momen panen raya. Sebagai imbasnya, petani kerap meluapkan kekecewaan terhadap pemerintah dengan membuang hasil panen secara sia-sia. Pemerintah dianggap pro impor. Padahal mungkin saja akar masalah berada pada data.

Isu pangan dan pertanian pun kian kompleks jika menilik profil petani. Petani kita umumnya bergantung pada sumber pendapatan tunggal, bertani. Sekitar 11 persen dari total petani di Indonesia merupakan petani gurem yang mengelola lahan kurang dari 0,5 hektar.

Baca juga: China Dihantui Krisis Pangan Akibat Cuaca Ekstrem

Tingkat produktivitas petani kini juga tengah sempoyongan akibat kebijakan pemerintah memangkas subsidi pupuk dan benih beberapa tahun terakhir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com