Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Angga Hermanda
Wiraswasta

Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (IKA Faperta Untirta)

"Food Estate" dan "Contract Farming" Jauh dari Kedaulatan Pangan

Kompas.com - 19/03/2024, 15:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RAKYAT Indonesia kembali resah dengan kenaikan harga berbagai bahan pangan yang tak kunjung terkendali.

Mayoritas harga pangan seperti beras, bawang merah, bawang putih, cabai, telur ayam ras, daging ayam ras, hingga daging sapi mengalami kenaikan di tingkat pedagang eceran.

Khusus beras, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga dalam satu tahun terakhir bahkan mencapai 20 persen.

Kenaikan harga beras yang tak terkendali sebagai pangan pokok strategis menunjukan pemerintah tidak sanggup melakukan stabilitas.

Berdasarkan Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga rata-rata nasional Beras Medium di Pedagang Eceran pada 28 Februari - 6 Maret 2024 sebesar Rp 14.290/kg.

Angka ini lebih tinggi dari periode sepekan menjelang Ramadhan tanggal 15-22 Maret 2023, yaitu Rp 11.890/kg dan sepekan menjelang Lebaran 15-22 April 2023, yakni Rp 12.120/kg.

Situasi ini menunjukan bahwa harga beras di pasar jauh melampui Harga Eceran Tertinggi (HET) berdasarkan Peraturan Bapanas 7/2023. HET Beras Medium yang terbagi di setiap zona berkisar antara Rp 10.900 – Rp 11.800/kg.

Persimpangan jalan

Situasi demikian lantas memunculkan pertanyaan: apa solusi yang tepat mengatasi masalah pangan tersebut?

Sesungguhnya UU Pangan dan Pemerintah telah menempatkan kedaulatan pangan sebagai kerangka utama kebijakan. Namun pada pelaksanaan dalam satu dasawarsa ini menjadi bergeser dan bias.

Bak di persimpangan jalan, kedaulatan pangan direduksi ke berbagai wacana teknis seperti pertanian kontrak (contract farming) dan lumbung pangan terpusat (food estate). Bahkan kedua mekanisme ini seolah ditempatkan sebagai solusi baru yang terus ditawarkan.

Secara konseptual, contract farming didefinisikan sebagai upaya ‘integrasi ke dalam satu sistem besar’, di mana terjadi ‘dynamic patnership’ antara petani kecil dan usaha besar, yang memberikan keuntungan bagi keduanya, tanpa mengorbankan pihak lain (Frida Rustiani, dkk., 1997).

Kendati demikian, contract farming bukanlah konsep yang tanpa cela. Contract farming di Indonesia telah dipraktikkan dalam berbagai bentuk, mulai dari Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), hingga Tambak Inti Rakyat (TIR).

Praktik-praktik contract farming tersebut secara nyata menghadirkan luka bagi para petani, peternak, dan rakyat perdesaan.

Apakah itu dalam bentuk konflik agraria akibat perampasan hak atas tanah, hingga keuntungan yang nyatanya tidak dinikmati penuh oleh para petani. Mengingat adanya relasi kuasa yang timpang dalam praktik contract farming.

Sejak pertama kali diterapkan di Indonesia, contract farming digagas perusahaan perkebunan (plantations estate). Hal ini ditandai dengan UU Penanaman Modal Asing 1967 dan UU Kehutanan 1967, serta peraturan-peraturan lainnya untuk meneruskan keaktifan kembali perusahaan perkebunan asing.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com