Tak lama setelah itu, Orde Baru atas nama peningkatan pendapatan negara dari sektor non-migas dan pemerataan penduduk menjalankan program transmigrasi dan perluasan perusahaan perkebunan, baik itu perusahaan negara dan perusahaan swasta. Sehingga sejalan antara eksploitasi hutan dan perluasan perkebunan.
Orde Baru berusaha mendapatkan dukungan dari lembaga moneter internasional, misal World Bank.
Contract farming diartikan sebagai suatu cara mengatur produksi pertanian di mana petani-petani kecil atau outgrowers diberi kontrak untuk menyediakan produk-produk pertanian untuk usaha sentral sesuai dengan syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian (contract).
Hal ini berangkat dari logika untuk mengurangi keterlibatan langsung dalam produksi primer, dan mendorong praktik borongan atau mengkontrakkan produksi primer kepada petani kecil (Erna Ermawati, 1996).
Contract farming di Perkebunan disebut dengan Nucleus Estate Smallholder (NES). Artinya Perkebunan inti dan rakyat, dan selanjutnya berkembang menjadi PIR Unggas, PIR Udang, dan seterusnya.
Dalam konsep PIR BUN, rakyat menyiapkan tanah, kemudian tanah itu dilegalisasi secara kepemilikan, 30 persen atas nama kepemilikan rakyat, dan 70 persen atas nama perusahaan.
Kemudian pihak perusahaan yang membangun kebun tersebut, dengan melakukan penyiapan lahan (land clearing), benih, pabrik pengolahan, dan peminjaman hutang ke pihak perbankan. Kerja sama ini dituangkan dalam bentuk akte kerja sama.
Begitu juga dengan PIR Unggas, di mana kemitraan antara peternak rakyat dengan korporasi justru mengakibatkan ketergantungan sektor peternakan Indonesia terhadap bibit, pakan, dan kontrol harga.
PIR Tambak juga demikian. Kasus Tambak Dipasena menunjukan kontrak antara petambak dan mitra lagi-lagi tidak menguntungkan.
Analisis yang diberikan para ahli mengapa World Bank menganjurkan sistem contract farming ini ialah tuntutan reforma agraria harus ditanggapi dengan model tersendiri.
Agar reforma agraria yang sudah dijalankan di negara-negara sosialis tidak menjadi acuan tunggal, dan menjadi alternatif reforma agraria yang dijalankan negara-negara barat.
Meskipun kini contract farming telah berkembang dan termodifikasi, namun semangat utama dari mekanisme ini bersandar pada prinsip deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.
Bagi kapitalis pasar sesungguhnya yang diperlukan bukanlah penguasaan tanah, karena menyangkut pertanahan menjadi tema nasionalisme dan antiimperialisme.
Bagi kapitalis pasar yang dibutuhkan ialah hasil pertanian itu untuk keperluan perdagangan bebas. Karena itu biarlah rakyat tetap punya hak atas tanah, tetapi jenis tanaman dikontrol pasar.
Perdebatan atas solusi pangan juga memunculkan proyek food estate. Pergolakan ini sesungguhnya bukan hal yang baru.