JAKARTA, KOMPAS.com - Sepanjang 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut 12 izin usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) baik konvensional maupun syariah. Jumlah tersebut sudah dicapai sebelum semester I 2024 berakhir.
Jumlah ini tergolong banyak dibandingkan dengan jumlah BPR yang tutup tahun lalu yakni 4 bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menjelaskan, BPR yang bangkrut dan tutup memang terindikasi memiliki sejumlah masalah serius.
Baca juga: OJK Cabut Izin BPR Bank Jepara Artha di Jawa Tengah
Hal tersebut justru disebut menandakan penyehatan lembaga keuangan ini tengah berlangsung.
Di sisi lain, OJK memang berharap jumlah BPR dapat lebih ramping. Untuk itu, regulator menerapkan single present policy. Artinya, satu orang hanya boleh memiliki satu BPR.
Semula satu orang dapat memiliki 10 BPR, dengan aturan tersebut semua bank itu harus menjadi satu.
"Jadi kalau sekarang punya 10 BPR harus digabung jadi 9 sisanya jadi kantor cabang. Nah itu dalam konteks konsolidasi kalau kepemilikan sama," terang dia awal tahun ini.
Baca juga: LPS Bakal Bayar Simpanan Nasabah BPR Jepara Artha
Sebagai catatan, sampai akhir tahun ini BPR juga harus mampu memenuhi ketentuan modal minimum Rp 6 miliar. BPR yang tidak mampu memenuhi ketentuan tersebut dapat melakukan merger.
"Tapi kalau BPR itu sudah mendasar persoalannya, apalagi kalau sudah dengan penipuan dan fraud tentu ini kita harus akhir tidak bisa membiarkan BPR ada di situ," imbuh dia.
Setali tiga uang, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, pada umumnya kebangkrutan BPR bukan disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional, melainkan adanya permasalahan dalam tata kelola bisnis bank.
"Umumnya karena fraud di BPR tersebut," ujarnya.