RASA-rasanya kita semua sepakat kondisi ekonomi saat ini jauh lebih menantang dibanding dengan kondisi ekonomi satu dua tahun ke belakang.
Risiko ekonomi masih tetap tinggi, bahkan cenderung semakin mengkhawatirkan seiring dengan dinamika politik global yang tak kunjung usai, malah semakin melebar.
Rantai pasok global yang masih belum berjalan optimal dan diselimuti iklim ketidakpastian menjadi kendala besar dalam pemulihan ekonomi di hampir semua negara, termasuk Indonesia.
Dalam waktu bersamaan, presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming memiliki target pembangunan ekonomi yang besar dan tidak kalah menantang.
Seolah ingin melakukan akselerasi dibanding periode pemerintahan sebelumnya, presiden dan wakil presiden terpilih menetapkan target angka pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, tujuh sampai delapan persen per tahun.
Bukan hanya angka pertumbuhan yang tinggi, presiden dan wakil presiden terpilih ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan layak.
Layak yang dimaksud, yaitu lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi angka pengangguran, dan menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan.
Di tengah ketidakpastian ekonomi politik global serta merosotnya produktivitas sektor industri dalam negeri, target pertumbuhan ekonomi berkualitas tersebut terasa begitu berat jika tidak mau disebutkan mustahil.
Sektor industri yang selama ini menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi berkualitas, kondisinya sedang tidak baik-baik saja, bahkan mengalami penyakit akut, deindustrialisasi.
Bak sudah jatuh tertimpa tangga, dalam waktu bersamaan tren deindustrialisasi juga diikuti dengan menurunnya daya cipta lapanga kerja di sektor industri. Daya cipta lapangan kerja sektor industri pengolahan tidak sebesar dulu.
Penggunaan teknologi tepat guna yang mampu menggantikan peran dan fungsi manusia telah menurunkan permintaan tenaga kerja di sektor industri. Akibatnya, sektor industri semakin tidak membutuhkan campur tangan keterampilan manusia.
Derita sektor industri tidak sampai di situ. Beban biaya operasional perusahaan di sektor industri semakin berat seiring dengan mahalnya beban biaya yang harus ditanggung.
Bahan input produksi yang berasal dari impor terasa jauh lebih mahal seiring dari semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Jika dua tahun lalu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ada di kisaran angka Rp 14.000 – Rp 15.000, saat ini nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah berada di level Rp 16.000-an dengan volatilitas yang sangat tinggi.
Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ini juga berdampak pada tingkat suku bunga kredit lembaga perbankan.