Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Predatory Pricing yang Disebut Jokowi Jadi Pembunuh UMKM RI?

Kompas.com - 06/03/2021, 12:01 WIB
Muhammad Idris

Penulis

“Jadi ingin meluruskan bahwa ini adalah laporan saya ketika memohon beliau untuk membuka Rapat Kerja Kemendag dua hari lalu, dan tadi sempat menjadi pembicaraan sebelum masuk ke acara tersebut,” ujar Lutfi dalam konferensi pers Rapat Kerja Kemendag 2021, Kamis (4/3/2021).

Baca juga: Janji Jokowi Bawa RI Swasembada Kedelai dalam 3 Tahun dan Realisasinya

Dia mengatakan, laporan yang disampaikannya kepada kepala negara adalah mengenai praktik predatory pricing melalui platform e-commerce global.

"Jadi harga yang sengaja dibuat untuk membunuh kompetisi. Ini membuat tidak terjadi keadilan atau kesetaraan dalam perdagangan," kata dia.

Praktik predatory pricing adalah, lanjut Lutfi, diperkuat dengan sebuah tulisan yang dikeluarkan oleh lembaga internasional.

Tulisan itu mengungkapkan hancurnya UMKM asal Indonesia yang bergerak di bisnis fesyen muslim, yaitu penjual kerudung atau hijab akibat praktik predatory pricing yang dilakukan pihak asing.

Baca juga: Ini Dalih Pemerintah Terpaksa Impor Beras 1 Juta Ton

Ia menjelaskan, bisnis UMKM penjual hijab tersebut sempat berjaya selama 2016-2018 hingga mampu mempekerjakan 3.400 karyawan. Total gaji yang dibayarkan UMKM pada pekerjanya itu bahkan mencapai 650.000 dollar AS per tahun.

Namun, pada 2018 ada sebuah perusahaan asing yang menyadap seluruh informasi UMKM tersebut. Perusahaan yang mencuri data itu membuat produk serupa di China yang kemudian dipasarkan pula ke Indonesia.

"Jadi ketika kita buka platform e-commerce global tersebut, benar saja, ternyata hijab yang dijual perusahaan itu harganya hanya Rp 1.900 per satu piece," ungkap Lutfi.

Kondisi tersebut tentunya mematikan UMKM lantaran harga yang dipatok hijab asal China itu jauh lebih rendah dari hijab produksi dalam negeri. Padahal, kata Lutfi, nilai bea masuk yang dibayarkan perusahaan tersebut dari impor hijab yang dilakukan hanya sebesar 44.000 dollar AS.

Baca juga: Tahun Ini Pemerintah Putuskan Impor Beras 1 Juta Ton, Untuk Apa?

"Mereka membayar bea masuk 44.000 dollar AS, tapi menghancurkan industri UMKM tersebut, yang membayar biaya gajinya 650.000 dollar AS untuk 3.400 orang," ucap dia.

Lutfi bilang, praktik curang tersebutlah yang dibenci oleh Jokowi sehingga memicu pernyataan benci produk asing. Sebab, imbasnya sangat besar kepada pelaku UMKM lokal.

"Inilah yang menyebabkan kebencian produk asing yang diutarakan Presiden karena kejadian perdagangan yang tidak adil, tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat," ujarnya.

Meski demikian, dia menegaskan, bukan berarti Indonesia melakukan proteksionisme. Upaya mendorong kecintaan produk dalam negeri utamanya untuk melindungi UMKM dan membasmi praktik predatory pricing yang mematikan usaha rakyat.

Baca juga: Jokowi Gaungkan Benci Produk Luar Negeri, Mendag Siapkan Aturan Khusus

Ia bilang, Indonesia tidak memiliki sejarah melakukan proteksionisme dan tetap terbuka dengan perdagangan global. Hal itu dibuktikan dengan 25 perjanjian dagang internasional yang dimiliki Indonesia hingga saat ini.

"Artinya, kita ini memang bukan bangsa yang proteksionisme karena kita sadar proteksionisme itu tidak memberikan nilai tambah pada kesejahteraan Indonesia," terang Lutfi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kredit Pintar Catat Pertumbuhan Pinjaman 3,40 Persen di Sumut, Didominasi Kota Medan

Kredit Pintar Catat Pertumbuhan Pinjaman 3,40 Persen di Sumut, Didominasi Kota Medan

Whats New
Bank DKI Dorong Penerapan CSR yang Terintegrasi Kegiatan Bisnis

Bank DKI Dorong Penerapan CSR yang Terintegrasi Kegiatan Bisnis

Whats New
Butik Lakuemas Hadir di Lokasi Baru di Bekasi, Lebih Strategis

Butik Lakuemas Hadir di Lokasi Baru di Bekasi, Lebih Strategis

Whats New
Mau Bisnis Waralaba? Ada 250 Merek Ikut Pameran Franchise di Kemayoran

Mau Bisnis Waralaba? Ada 250 Merek Ikut Pameran Franchise di Kemayoran

Smartpreneur
TEBE Tebar Dividen Rp 134,9 Miliar dan Anggarkan Belanja Modal Rp 47,6 Miliar

TEBE Tebar Dividen Rp 134,9 Miliar dan Anggarkan Belanja Modal Rp 47,6 Miliar

Whats New
Gramedia Tawarkan Program Kemitraan di FLEI 2024

Gramedia Tawarkan Program Kemitraan di FLEI 2024

Whats New
J Trust Bank Cetak Laba Bersih Rp 44,02 Miliar pada Kuartal I 2024

J Trust Bank Cetak Laba Bersih Rp 44,02 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
94 Persen Tiket Kereta Api Periode Libur Panjang Terjual, 5 Rute Ini Jadi Favorit

94 Persen Tiket Kereta Api Periode Libur Panjang Terjual, 5 Rute Ini Jadi Favorit

Whats New
Libur Panjang, Jasa Marga Proyeksi 808.000 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek

Libur Panjang, Jasa Marga Proyeksi 808.000 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek

Whats New
Kemenhub Bebastugaskan Pejabatnya yang Ajak Youtuber Korsel Main ke Hotel

Kemenhub Bebastugaskan Pejabatnya yang Ajak Youtuber Korsel Main ke Hotel

Whats New
Libur Kenaikan Yesus Kristus, 328.563 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Libur Kenaikan Yesus Kristus, 328.563 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Whats New
OCBC Singapura Ajukan Tawaran Rp 16 Triliun untuk Akuisisi Great Eastern Holdings

OCBC Singapura Ajukan Tawaran Rp 16 Triliun untuk Akuisisi Great Eastern Holdings

Whats New
Inggris Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi

Inggris Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi

Whats New
Minta Penjualan Elpiji di Warung Madura Diperketat, Ini Penjelasan Peritel

Minta Penjualan Elpiji di Warung Madura Diperketat, Ini Penjelasan Peritel

Whats New
Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com