Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

Rapor 7 Tahun Tol Laut

Kompas.com - 25/10/2021, 05:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam praktiknya, kapal-kapal tol laut bergerak dari pelabuhan utama/hub menuju pelabuhan penyangga atau spoke. Selanjutnya kapal-kapal itu bergerak di daerah 3TP (terluar, tertinggal, terdepan, dan perbatasan) dan kembali lagi ke pelabuhan utama. Perlu dicata, program tol laut melibatkan berbagai jenis pelayaran: pelayaran perintis, pelayaran penumpang, kapal barang, dan kapal ternak. Semuanya menenggak subsidi.

Model pengaturan operasional kapal-kapal tol laut seperti digambarkan di muka menimbulkan dampak bagi bisnis pelayaran nasional secara keseluruhan. Maksudnya begini. Jauh sebelum program ini diluncurkan oleh pemerintahan Jokowi sudah ada trayek pelayaran dari pelabuhan utama menuju berbagai pelabuhan di daerah yang dilayani oleh perusahaan pelayaran swasta.

Begitu pula di pelabuhan-pelabuhan penyangga telah hadir pelayaran-pelayaran swasta yang akan membawa komoditas ke pelabuhan yang lebih kecil (baca: daerah 3TP). Harga freight ditetapkan sesuai dengan mekanisme pasar.

Masalah frekwensi kedatangan kapal, khususnya ke daerah terdepan, terluar, tertinggal, dan perbatasan, memang sangat terbatas waktu itu. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah –dimulai dari masa Presiden Suharto – meluncurkan pogram kapal perintis. Presiden-presiden setelah Pak Harto meneruskan kebijakan tersebut dan khusus dalam masa pemerintahan Jokowi namanya diganti menjadi tol laut.

Baca juga: Kemendag Klaim Tol Laut Pangkas Harga Kebutuhan Pokok hingga 30 Persen

Dengan layanan yang mendapat subsidi, kapal-kapal Tol Laut jelas berada di atas angin. Kapal-kapal swasta yang kebetulan berada dalam satu lintasan dengan kapal-kapal tol laut (baik dari pelabuhan utama maupun dari pelabuhan penyangga) dipastikan sulit bersaing karena mereka tidak dapat subsidi.

Contoh, biaya kontainer pelayaran swasta dibanderol sekitar Rp 15 juta sedangkan tarif tol laut Rp 8 juta bahkan bisa jadi lebih murah lagi. Harga Rp 15 juta itu merupakan harga pasar pada trayek tertentu. Bila pemilik barang menggunakan kapal Tol Laut, mereka akan mendapat subsidi senilai Rp 7 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 38 Tahun 2018 tentang Penetapan Jenis Barang Yang Diangkut Dalam Program Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Dari Dan Ke Daerah Teringgal, Terpencil, Terluar, Dan Perbatasan, kapal-kapal tol laut dikhususkan untuk membawa barang kebutuhan pokok dan barang penting seperti obat-obatan, susu, dan lain sebagainya.

Masalahnya, kapal-kapal swasta juga mengangkut barang yang sama hanya saja pengguna jasa mereka, bahkan mereka sendiri, tidak mendapat subsidi. Jelas rugi bandar.

Lantas, bagaimana cara menyelamatkan “muka” tol laut dengan kondisi seperti di atas?

Lumayan sederhana jawabannya. Pindahkan operasi kapal-kapal tol laut yang berhimpitan dengan pelayaran swasta di jalur utama. Selanjutnya mereka beroperasi di daerah 3TP tanpa perlu ke pelabuhan utama lagi. Entahlah.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com