Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Flexing Marketing Bukan untuk Smart Consumer

Kompas.com - 16/03/2022, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menurut dia, permintaan konsumen untuk barang dan jasa berasal dari kebutuhan untuk membangun jejaring sosial dan meniru kelas sosial-ekonomi yang lebih tinggi.

Studi antropologi oleh Yamey (1964) mengenai modal, tabungan, dan praktik konsumsi untuk pamer pada masyarakat primitif menunjukkan bahwa pamer kekayaan dianggap sebagai tindakan sia-sia dan individu yang mempromosikan superioritas materi dikutuk dan sering diusir dari masyarakat.

Pada kondisi sekarang justru sebagian kelompok masyarakat menyukai dan menikmati aktivitas pamer sebagai jalan pintas mengangkat status sosial sekaligus gengsi, minimal di tengah komunitasnya, sekalipun tidak sedikit yang harus berbohong.

Sebuah dekadensi moral di tengah masyarakat yang mengaku modern.

Implikasi

Begitu maraknya “flexing” yang berhasil menarik perhatian banyak kalangan menimbulkan pertanyaan, apakah ini layak digunakan sebagai aktivitas pemasaran yang pantas?

Bagi pemasar yang berpikir instan, dunia pemasaran yang sarat dengan kekuatan persepsi sebagai modal untuk membangun reputasi brand (jenama), namun harus didukung realitas dan fakta, “flexing” mungkin dipertimbangkan menjadi sarana utama untuk mencapai itu.

Dukungan media sosial memberikan dampak positif terhadap konsumsi untuk pamer, walau harus dimediasi oleh kesesuaian citra diri (Burnasheva & Suh, 2020) yang mungkin juga memengaruhi aktivitas “flexing” makin menjadi-jadi.

Dan itu terjadi pada generasi milenial dan Z. Mereka jugalah yang menjadi pasar sasaran utama aktivitas “flexing”.

Semestinya pemasar yang beretika tidak menggunakan “flexing” yang kental dengan unsur “tipu-menipu”.

Integritas dikedepankan untuk membentuk persepsi positif di dalam benak konsumen. Pemasar berintegritas dapat dipastikan memiliki reputasi yang bagus, tidak hanya sesaat tapi selamanya.

Sementara pasar potensial dan aktual yang justru kalangan muda, yang menjadi sasaran empuk “flexing”, harus benar-benar “smart” dan bijaksana menyikapi “panggung” dari orang-orang kaya yang suka pamer (apa benar orang kaya sungguhan, suka pamer?) atau yang mengaku kaya untuk menaikkan statusnya.

Mayoritas penelitian terdahulu mengklaim religiusitas dapat mengurangi kecenderungan orang untuk konsumsi pamer (Ramazani & Kermani, 2021).

Dari sisi religius, sikap suka pamer sudah tidak sejalan, apalagi pamer dan bohong.

Menggunakan “flexing” sebagai bagian dari aktivitas pemasaran, kalaupun tetap dijalankan, mungkin hanya sesuai untuk konsumen yang tidak “smart” dan yang dibutakan oleh harta duniawi, untuk mencapai tujuan, yang juga tidak jelas. Menggelisahkan dan memprihatinkan.

*Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com