MINYAK goreng adalah satu dari sembilan bahan makanan pokok (sembako) bagi warga Indonesia. Artinya, minyak goreng merupakan salah satu bahan memasak yang wajib ada di setiap dapur orang Indonesia (Bdk. Pasal 1 Kepmenperindag 115/MPP/Kep/2/1998).
Maka, sangat masuk akal jika tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia sangat tinggi. Kementerian Perdagangan (2022) menyebutkan bahwa kebutuhan minyak goreng untuk pangan secara nasional sekitar 5,7 juta kiloliter per tahun, terdiri atas minyak goreng untuk kebutuhan rumah tangga (3,9 juta kiloliter) dan industri (1,8 juta kiloliter).
Konsumsi minyak goreng untuk pangan per Januari 2022 sebesar 591 ribu ton, turun 16 persen dari bulan sebelumnya sebesar 705 ribu ton.
Baca juga: Dirjen Kemendag Jadi Tersangka Kasus Minyak Goreng, Faisal Basri: Maling Teriak Maling
Dari sisi pasokan, menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, beleid Domestic Market Obligation (DMO) antara 14 Februari hingga 16 Maret 2022, bisa mengumpulkan 720.612 ton minyak sawit dari 3,5 juta ton total ekspor CPO. Dari jumlah ini telah distribusikan 551.069 ton.
Karena konsumsi minyak goreng tiap warga hanya seliter per bulan, maka jumlah yang didistribusikan setara dengan dua kali kebutuhan.
Dari keterangan Muhammad Lutfi itu, semestinya stok minyak goreng di pasar melimpah. Namun, kenyataan justru sebaliknya, minyak goreng seperti "menghilang dari pasar".
Mengapa hal itu terjadi? Siapa atau faktor apa yang menyebabkan stok minyak goreng sangat terbatas?
Sejauh ini jawaban atas pertanyaan itu belum tampak jelas. Yang ada hanya spekulasi atau dugaan, baik yang lahir dari mulut pejabat, politisi, dan para analis. Repotnya jawaban yang absurd itu terus menjadi ‘berita utama’ media massa dan menjadi bahan obrolan di media sosial.
Baca juga: Dirjen Perdagangan Luar Negeri Tersangka Kasus Izin Ekspor Minyak Goreng
Jawaban atas penyebab masalah tersebut sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa kelangkaan minyak goreng terjadi karena struktur pasar industri minyak goreng yang tidak sempurna.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU misalnya menyebut empat grup produsen raksasa menguasai 46,5 persen pasar. Konon, mereka menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan pasar oligopolis ini mereka leluasa mendikte pasar.
Ada pula yang menjelaskan bahwa dari sisi distribusi, rantai pasok minyak goreng juga belum sepenuhnya efisien. Saat ini, 45 (60,8 persen) dari 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit ada di Jawa. Padahal, Jawa bukan penghasil sawit.
Ditambah pasar yang oligopoli membuat negara kian tak berdaya mengendalikan harga minyak goreng.
Muhammad Lutfi sendiri membeberkan dua kemungkinan penyebab minyak goreng langka di pasaran. Pertama, ada kebocoran untuk industri, yang kemudian dijual dengan harga tak sesuai patokan pemerintah.
Kedua, ada penyelundupan dan penimbunan oleh sejumlah oknum. Jadi ada yang menimbun, lalu dijual ke industri atau ada yang menyelundup ke luar negeri. Itu merupakan tindakan melawan hukum.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.