Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyebab Harga Motor dan Mobil Listrik di Indonesia Mahal, dari soal Baterai, Jaringan Bengkel, hingga "Charging Station"

Kompas.com - 20/09/2022, 16:20 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan ada beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa harga kendaraan listrik di Indonesia sangat mahal.

Menurut Bhima, salah satu sebab yang paling mendasar adalah harga baterai yang masih mahal. Dia mengatakan, harga baterai untuk kendaraan listrik adalah 40 persen dari harga mobil listrik.

Ia berharap dengan adanya Indonesia Battery Corporation (IBC) bisa mendorong ekosistem baterai di dalam negeri.

“Dengan adanya IBC itu harapannya, bisa memperbesar ekosistem dari baterai. Salah satu suku cadang yang paling penting di dalam kendaraan listrik adalah baterai, yang harganya bisa 40 persen sendiri dari total harga mobil listrik,” ungkap Bhima kepada Kompas.com, Selasa (20/9/2022).

Baca juga: Penggunaan Kendaraan Listrik Bisa Tekan Impor Minyak Mentah hingga 30 Juta Barrel

Potensi mobil listrik tahun 2027

Bhima mengungkapkan, di tahun 2027 potensi dari mobil listrik bisa mencapai 1,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 19,3 triliun.

Dengan harga baterai yang turun, dan ekosistem baterai di tanah air yang mulai berjalan, maka harga kendaraan listrik bisa semakin terjangkau.

“Jadi ini pasar yang cukup prospektif, dan cukup berkembang. Kalau bisa diturunkan harga baterai-nya, maka harga kendaraan listrik bisa semakin terjangkau,” lanjut dia.

Baca juga: [POPULER MONEY] 189.803 Kendaraan Dinas Bakal Diganti Jadi Mobil Listrik | Telkomsel dan Indihome Bakal Digabung

Jumlah bengkel hingga "charging station"

Untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik di masyarakat, maka harga yang terjangkau sangatlah penting. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian insentif seperti PPh 0 persen, PPN 0 persen, serta pembebasan PKB di level daerah.

Selain itu juga perlu adanya infrastruktur pendukung, seperti ketersediaan suku cadang, bengkel, dan charging station.

“Memang kendala terbesar itu adalah harga kendaraan listrik yang belum terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Keterbatasan jumlah bengkel, infrastruktur charging station juga belum merata dalam pengembangan mobil listrik. Ini perlu dipercepat, dengan berbagai insentif,” lanjutnya.

Baca juga: Kementerian ESDM Targetkan Konversi 1.000 Motor Listrik di Tahun Ini

Membangun ekosistem mobil listrik butuh waktu 10 tahun

Bhima menjelaskan, baik untuk motor listrik maupun mobil listrik, penggunaanya saat ini masih di bawah 1 persen dari total produksi.

Dia menilai jika porsi penggunaan yang terus meningkat dan konsisten, kedepannya bisa mengurangi dominasi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kendaraan pribadi dalam jangka panjang.

“Mungkin butuh waktu 10 tahun ya. Tapi cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperbesar pemain di dalam negeri, dengan memberi banyak insentif. Dengan begitu, bisa menurunkan ketergantungan terhadap subsidi BBM dalam jangka panjang. Perlu dicatat, karena listrik ini kan sebagian besar pakai PLN, sementara 70 persen bauran listrik PLN dari batu bara dan BBM. Jangan sampai konsumsi di hilirnya naik, di hulunya ketergantungan terhadap fosilnya cukup tinggi,” tegas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

Whats New
Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Rilis
Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya 'Serok'?

Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya "Serok"?

Earn Smart
Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Whats New
Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Whats New
Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Whats New
Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Whats New
Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Spend Smart
PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

Whats New
Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Whats New
Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Whats New
Transformasi Digital, BRI Raih Dua 'Award' dalam BSEM MRI 2024

Transformasi Digital, BRI Raih Dua "Award" dalam BSEM MRI 2024

Whats New
Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Whats New
SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com