Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa PNS Kementerian ESDM Tidak Protes Padahal Tukin Dikorupsi?

Kompas.com - 30/03/2023, 21:29 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut dugaan korupsi pembayaran tunjangan kinerja atau tukin Kementerian ESDM, terutama pada Ditjen Mineral dan Batubara (Minerba).

Lembaga antirasuah itu juga sudah menetapkan tersangka. Kasus korupsi tukin ini mulanya berembus dari aduan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan dan penyidikan khusus untuk tahun anggaran 2020-2022.

Dalam perkara ini, para pelaku diduga melakukan perbuatan hukum memperkaya diri sendiri. Perbuatan mereka bisa masuk kategori pelanggaran yang diatur Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Menurutnya, uang tersebut diduga dinikmati para oknum di Kementerian ESDM untuk kepentingan pribadi, membeli aset, dan operasional. Selain itu, KPK juga mengendus uang korupsi itu digunakan untuk mengondisikan pemeriksaan oleh auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Baca juga: Diduga Dikorupsi, Berapa Tukin PNS Kementerian ESDM?

Namun demikian, KPK masih terus mendalami sejumlah informasi tersebut. Selain mendalami dugaan aliran dana untuk suap pemeriksaan BPK, KPK juga bakal mendalami apakah perkara ini terkait dengan Kementerian Keuangan.

Modus korupsi tukin

Yang kemudian timbul pertanyaan, kenapa pegawai di Kementerian ESDM tidak memprotes kalau uang tukin mereka dikorupsi?

Dikutip dari Kompas TV, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur mengungkap modus korupsi dana tukin adalah dengan menggelembungkannya terlebih dahulu sebelum dicairkan ke para PNS di Ditjen Minerba Kementerian ESDM.

Selisih dana yang digelembungkan dengan uang yang diterima pegawai itulah yang kemudian dikorupsi. KPK pun terus mencari bukti adanya potongan dan penggelembungan tukin tersebut.

Baca juga: Ada Kecurigaan Uang Dugaan Korupsi di ESDM Mengalir ke Auditor BPK

”Kami berusaha untuk mencari barang bukti berupa slip gaji atau dokumen terkait perkara ini. Prinsipnya tetap follow the money atau ikuti arus aliran uang,” ujar Asep.

Sementara itu dikutip dari laporan Harian Kompas, Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Wahyudi Kumorotomo, mengungkapkan dari informasi yang didapatkannya, modus penggelembungan tukin ini sebenarnya cukup sederhana.

Contoh modus korupsi tukin adalah dengan memanfaatkan celah aturan pencairan tukin, yang mana besaran tunjangan ini baru diberikan kepada PNS sesuai dengan kinerjanya, seperti penilaian pada jumlah hari masuk kerja.

”Saya tidak masuk (kerja), semestinya tukin tidak dapat. Tetapi orang internal itu menganggap (mencatatkan) saya masuk, dan dicatat tukinnya. Namun, tunjangan itu tidak dibayarkan ke saya, tetapi diambil sendiri oleh pejabat yang korupsi,” jelasnya.

Baca juga: Piala Dunia U-20 Batal, Rp 400 Miliar Ludes untuk Renovasi Stadion

Itulah mengapa, meski disebut ada pemotongan tukin, tidak ada pegawai Ditjen Minerba yang protes. Karena para PNS pun tidak menyadarinya.

”Modusnya adalah penggelembungan tukin. Jadi bukan (semata-mata) tukinnya yang dipotong. Kalau tukinnya yang dipotong, pegawai yang berhak memperoleh (tentu) akan protes. Tetapi ini, kan, tidak,” sebutnya.

Mengenal Tukin PNS

Tukin atau tunjangan kinerja merupakan salah satu komponen gaji yang diterima PNS selain gaji pokok. Tukin bisa dibilang merupakan tunjangan yang nominalnya paling besar dibandingkan jenis tunjangan lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penerimaan Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1 Persen

Penerimaan Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1 Persen

Whats New
Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Earn Smart
Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Earn Smart
Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Whats New
Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Whats New
1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

Spend Smart
Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com