Usaha dengan misi sosial digerakkan oleh kondisi masyarakat yang membutuhkan solusi atas masalah yang timbul.
Wirausaha yang jeli menawarkan suatu produk sebagai jawaban atas kebutuhan serta keinginan masyarakat dan wirausaha memperoleh profit atas produk yang dijual.
Sementara usaha dengan konsekuensi sosial berawal dari misi untuk memperoleh profit tetapi di dalam praktiknya justru lebih berdampak terhadap kondisi sosial masyarakat. Profit tidak lagi menjadi tujuan utama.
Usaha nonprofit di dalam kewirausahaan sosial merupakan entitas yang murni sosial. Digerakkan oleh misi sosial dan tidak berorientasi pada keuntungan.
Jika mengacu pada ketiga bentuk usaha di dalam kewirausahaan sosial, tidak terdapat model yang pas untuk diterapkan pada wirausaha yang bergerak dalam bisnis waralaba pendidikan.
Wirausaha tidak mungkin menggantungkan usahanya pada misi sosial semata.
Model hibrida yang mencoba menyeimbangkan antara misi sosial dan ekonomi dalam pencapaian profit merupakan alternatif terbaik penerapan kewirausahaan sosial.
Ada tiga hal penting yang dapat diterapkan wirausaha yang berkecimpung dalam bidang pendidikan jika hendak menerapkan kewirausahaan sosial.
Pertama, penetapan harga atau biaya pendidikan untuk calon siswa tidak hanya berfokus pada orientasi ekonomi semata. Kondisi tersebut membuat wirausaha hanya fokus pada perhitungan pengembalian investasi.
Ada hal lain yang patut dipertimbangkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap orang dan tidak hanya bagi mereka yang secara ekonomi mampu. Waralaba sekolah semestinya tidak membentuk institusi pendidikan menjadi komunitas yang eksklusif.
Kedua, meski menerapkan kewirausahaan sosial, pengembangan waralaba sekolah tidak mengabaikan profit yang mungkin dicapai.
Jika dalam bisnis waralaba nonpendidikan, profit biasa digunakan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk ekspansi gerai, wirausaha dalam waralaba pendidikan patut “mengembalikan” profit untuk pengembangan sumber daya manusia, yaitu para pengajar, pengembangan metode pembelajaran yang paling mutakhir dan peningkatan fasilitas sekolah. Profit tidak hanya dinikmati oleh sang wirausaha saja.
Ketiga, waralaba pendidikan semestinya dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam hal membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran yang layak terutama penciptaan pekerja-pekerja terampil yang dapat langsung bekerja.
Kemitraan dengan dunia usaha sepatutnya dijalin. Misi pelayanan selayaknya dipertegas bahwa waralaba sekolah pun berperan dalam penciptaan manusia Indonesia yang unggul dan berbudi luhur.
Hal yang perlu diingat bahwa model hibrida di dalam kewirausahaan sosial tidak sama dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
Tanggung jawab sosial perusahaan menekankan pada hal-hal yang bagus bagi perusahaan dan melayani masyarakat selama masih menguntungkan (Timmons, 2009).
Penerapan CSR juga bukan merupakan kompetensi dasar perusahaan dan seringkali tidak berkaitan dengan bisnis inti yang dijalankan perusahaan.
Penerapan model kewirausahaan sosial dalam waralaba pendidikan memandang bahwa bisnis ini dapat dijalankan dengan memperhatikan tujuan secara ekonomis tanpa mengabaikan aspek sosial yang diembannya.
*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya