EKSITENSI buruh dalam masyarakat Indonesia sering kali menjadi topik pembahasan karena belum mendapat apresiasi secara sewajarnya.
Menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kemudian, Peraturan Menteri (Permen) No. 11 Tahun 2019 mengartikan pekerja/buruh sebagai setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hal senada dinyatakan dalam Undang-Undang (UU) No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khusunya pada Pasal 1 ayat 1, 2, dan 3.
Sebagai pihak yang membutuhkan upah tak jarang pekerja atau buruh merupakan pihak yang lemah.
Ia mengerahkan seluruh tenaganya ke tempat kerja dan pengusaha kadangkala memutuskan hubungan kerja pekerja/buruh karena tenaganya sudah tidak diperlukan lagi.
Pekerja/buruh sejatinya adalah kekuatan besar dalam kancah perekonomian nasional karena jumlah dan kontribusi yang sangat besar.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mencatat jumlah angkatan kerja di Indonesia, per Agustus 2022, termasuk di dalamnya pekerja/buruh, mencapai 143,72 juta orang atau naik 3,57 juta orang dibanding Agustus 2021.
Walau menjadi kelompok tenaga kerja yang besar, pekerja/buruh berada dalam kondisi kehidupan yang rapuh karena memiliki pendapatan/upah relatif kecil sehingga memiliki tingkat kesejahteraan hidup rendah.
Kondisi buruh/pekerja kian rentan karena dalam satu dekade terakhir kondisi perekonomian di Indonesia mengalami deindustrialisasi, yaitu penurunan kontribusi sektor industri bagi perekonomian nasional.
Fenomena deindustrialisasi tercermin pada semakin merosotnya kontribusi sektor industri atas angka produk domestik bruto (PDB).
Data BPS menunjukkan kontribusi sektor industri atas dasar harga berlaku (ADHB) senilai Rp 877,8 triliun pada kuartal II 2022, atau sebesar 17,84 persen dari total PDB yang senilai Rp 2,82 kuadriliun.
Kontribusi ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya. Padahal, pada kuartal I tahun 2013 lalu, kontribusi sektor industri terhadap PDB masih mencapai 21,57 persen.
Artinya, kontribusi sektor industri atas PDB dalam 10 tahun terakhir telah menyusut 3,73 poin persentase.
Deindustrialisasi berdampak pada eksistensi pekerja/buruh. Jumlah pekerja/buruh yang bersifat informal menjadi lebih banyak.
Data Sakernas BPS per November 2022, menyebutkan jumlah pekerja informal di Indonesia sebanyak 80,24 juta orang atau setara 59,31 persen per Agustus 2022. Sementara, pekerja formal sebanyak 55,06 juta atau 40,69 persen.
Informalisasi pekerjaan membuat waktu bekerja menjadi lebih longgar sehingga buruh dan Serikat Pekerja semakin tidak memiliki nilai tawar terhadap berbagai kebijakan yang lahir dari perusahaan.
Masalah yang paling mendera pekerja/buruh adalah upah. Upah pekerja/buruh terdiri atas dua kategori, yaitu upah nominal dan upah riil.
Upah nominal buruh/pekerja adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan yang telah dilakukan. Upah riil buruh/pekerja menggambarkan daya beli dari pendapatan/upah yang diterima buruh/pekerja.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya