Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sinyal Darurat "Fintech Lending", Pemberi dan Penerima Pinjaman Sama-sama Perlu Diedukasi

Kompas.com - 09/06/2023, 07:00 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Tekonologi (LPBBTI) atau fintech lending peer-to-peer lending mengimbau pemberi pinjaman (lender) untuk memahami risiko sebelum memberikan pendanaan.

Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Pandu Sjahrir mengatakan, literasi keuangan konsumen fintech baik pemberi pinjaman (lender) maupun penerima pinjaman (borrower) masih perlu ditingkatkan.

"Pemahaman tentang hak dan kewajiban serta risiko dapat mendorong penggunaan fintech lending yang aman dan nyaman bagi konsumen," ujar dia dalam Media Luncheon, Kamis (8/6/2023).

Baca juga: Aftech Dukung Rencana OJK Cabut Moratorium Izin Fintech Lending

Pandu menjelaskan, pemberi pinjaman (lender) dapat memanfaatkan fintech finanial planner belum mengambil atau memberikan pinjaman di fintech.

Fasilitas ini merupakan salah satu model bisnis fintech di AFTECH.

"Utamanya dalam memastikan pemberi pinjaman memiliki literasi yang cukup akan risiko dan menjadi semacam certified investor," imbuh Pandu.

Baca juga: Perluas Inklusi, Pencabutan Moratorium Fintech Lending Perlu Diikuti Penguatan Permodalan

Co Founder dan CEO Investree Adrian Gunadi mejelaskan, pandemi Covid-19 berdampak pada kemampuan bayar penerima pinjaman (borrower) yang dalam Investree adalah UMKM.

Pandemi Covid-19 berdampak negatif pada rantai pasok secara global. UMKM tidak mampu memenuhi permintaan konsumen, dan berimbas langsung ke pemasukan.

"Sehingga berdampak pada kemampuan mereka membayar pinjaman secara tepat waktu," imbuh dia.

Untuk itu, pemberi pinjaman (lender) perlu memahami profil penerima pinjaman (borrower) berserta risikonya. 

Baca juga: Apa Saja Faktor yang Membuat Kredit Macet di Industri Fintech Lending Bengkak?

Pengalaman Investree

Investree menerima 3.948 komplain lender individu sampai April 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 78 persen merupakan tipe pinjaman dengan rating B sampai C-.

Artinya, komplain lender individu tersebut terkait dengan pinjaman yang masuk aktegori risiko menengah-tinggi.

"Sehingga keputusan untuk memilih imbal hasil dan juga tingkat risiko yang melekat di pinjaman masing-masing, sepenuhnya ada di tangan lender," tegas dia.

Adrian yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menuturkan, industri fintech memang dapat bekerja sama dengan asuransi penjaminan untuk mitigasi risiko.

Baca juga: OJK Minta Fintech Lending yang Punya Kredit Macet Tinggi Ajukan Rencana Perbaikan


Namun, regulasi dari OJK itu tidak secara spesifik menyebutkan asuransi menjadi jaminan atas pendanaan fintech lending.

Pihaknya juga membuka kemungknan pembahasan dengan industri asuransi untuk meracik produk asuransi khusus untuk fintech lending.

"Kami tidak mau asuransi (penjaminan) jadi moral hazard. Kalau pinjam di fintech ada asuransi penjaminnya. Jadi pinjam saja tidak usah bayar, nanti ada asuransinya. Itu kan moral hazard nyebutnya," ungkap dia.

Adrian menegaskan, asuransi tidak bisa menjadi penjamin, tetapi hanya sebagai bantalan. Fintech harus melihat transaksi sebagai basis.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com