Sayangnya, target peningkatan kerja layak tidak dicantumkan dalam indikator pembangunan utama visi Indonesia Emas.
Terkait tenaga kerja, target yang dicanangkan hanyalah penurunan jumlah pengangguran. Seharusnya pemerintah juga mengakui masalah minimnya kerja layak di antara mereka yang sudah bekerja.
Selain contoh di atas, masih banyak juga pekerja tak dibayar dan pekerja di sektor formal yang tidak memiliki kontrak tertulis di Indonesia.
Sebelum bicara strategi lebih jauh, data survei tenaga kerja nasional perlu diperbaiki sehingga kita bisa melakukan monitor secara berkala.
Pemerintah perlu membuat definisi sendiri tentang kerja layak bagi kelas menengah Indonesia. Beberapa asumsi dalam mendefinisikan pekerjaan kelas menengah perlu dikaji kembali.
Sebagai contoh, asumsi World Bank di antaranya (1) penghasilan pekerjaan kelas menengah haruslah mencukupi bagi empat orang anggota keluarga, (2) besar penghasilan 3,5 kali batas kemiskinan, dan (3) setiap keluarga diasumsikan memiliki penghasilan ganda.
Dengan asumsi tersebut, tahun 2018, penghasilan seseorang yang bisa dikategorikan sebagai pekerjaan kelas menengah harus lebih dari Rp 3,75 juta.
Jika mengikuti kenaikan standar kemiskinan, artinya penghasilan pekerjaan kelas menengah tahun 2022 harus lebih dari Rp 5 juta. Dengan peningkatan tersebut, rasio pekerjaan kelas menengah kita malah turun ke angka 15 persen pascapandemi ini.
Lantas bagaimana caranya meningkatkan jumlah kerja layak bagi lebih dari seratus juta orang angkatan kerja Indonesia dalam 22 tahun ke depan?
Mau tidak mau, penciptaan kerja layak harus jadi agenda prioritas dan diikutsertakan dalam indikator utama pembangunan.
Ada banyak agenda pembangunan saat ini yang sebenarnya bisa sejalan dengan penciptaan kerja layak.
Pertama, soal hilirisasi. Seharusnya, parameter utama keberhasilan hilirisasi bukan hanya tentang nilai tambah produksi dan peningkatan volume ekspor produk turunan. Hilirisasi harus berkaitan dengan peningkatan kerja layak.
Dalam buku terbarunya Power and Progress, ekonom MIT Daron Acemoglu mengingatkan bahwa industrialisasi, otomasi, dan robotisasi tidak secara otomatis menyejahterakan para pekerja.
Jika tidak dikendalikan dan diarahkan dengan baik, bisa jadi sebaliknya yang terjadi: pekerjaan manusia malah tergantikan oleh mesin.
Acemoglu mengungkapkan bahwa inovasi dan teknologi akan berdampak baik untuk orang banyak jika peningkatan produktivitas berefek juga ke peningkatan jumlah pekerja dan peningkatan penghasilan mereka.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya