JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyoroti potensi ancaman baru bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri seiring adanya kabar TikTok tengah menggarap "Project S". Proyek social-commerce ini dinilai dapat mematikan UMKM di Indonesia.
Sorotan itu disampaikan Anggota Komisi VI DPR Amin AK dalam Rapat Paripurna DPR RI. Ia meminta pemerintah memberikan perhatian serius untuk mengantisipasi potensi Project S diterapkan di Indonesia.
"Saya minta pimpinan DPR RI mendesak pemerintah agar memberikan perhatian serius dan tindakan nyata terhadap isu ini. Eksistensi UMKM harus diperkuat agar menjadi tuan di negeri sendiri," ujar Amin dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Baca juga: Soal Bisnis Cross Border di Project S TikTok, Teten: Jangan Bohongi Saya!
Kecurigaan mengenai Project S TikTok pertama kali mencuat di Inggris seiring munculnya fitur Trendy Beat. Fitur ini menjual produk-produk populer yang dijual oleh perusahaan yang terafiliasi dengan TikTok.
Amin menilai, jika proyek tersebut masuk ke Indonesia maka dapat memanfaatkan pasar Indonesia yang sangat besar, tetapi memprioritaskan penjualan produk UMKM dari China.
Terlebih lagi, jika produk yang dipasarkan melalui proyek tersebut dilakukan dengan promo besar-besaran dan harga yang lebih murah dari produk UMKM dalam negeri.
"Persoalannya, ini adalah pertarungan pasar di ruang kosong regulasi. Dalam situasi yang tidak seimbang dan tidak menguntungkan bagi UMKM," katanya.
Baca juga: Project S TikTok Berpotensi Ancam UMKM, Pemerintah Diminta Antisipasi
Amin menuturkan, regulasi mengenai e-commerce saat ini sulit dikenakan pada TikTok karena dianggap sebagai media sosial. Di sisi lain, Undang- Undang ITE juga akan sulit menjangkau Project S karena merupakan fitur e-commerce.
Oleh sebab itu, ia menekankan, perlunya keseriusan pemerintah dalam membina dan mendampingi para pelaku UMKM dalam negeri agar mampu mengakses pasar di era perdagangan digital saat ini.
Pemerintah pun dinilai perlu membuat aturan yang mampu melindungi UMKM lokal dari potensi serbuan produk-produk impor. Salah satunya dapat dilakukan dengan merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020.
Baca juga: Tiktok Indonesia Tanggapi KemenKopUKM Soal Ancaman Project S Tiktok Shop
"Mereka membutuhkan keseriusan pemerintah agar mereka mampu meningkatkan inovasi dan teknologi pemasaran, yang kini semakin berat bagi UMKM akibat serbuan produk impor," ucap Amin.
Merespons usulan Amin yang menyoroti potensi penerapan Project S TikTok di Indonesia, Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus yang menjadi pemimpin rapat menyatakan akan menindaklanjutinya.
"Terima kasih, Pak Amin, ini dicatat dan akan ditindaklanjuti," kata dia.
Baca juga: Tiktok Dikabarkan Siapkan Project S, Jual Produk Sendiri Dikirim dari China
Sebelumnya, Project S TikTok juga turut disorot Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki. Ia menilai, perlunya percepatan revisi Permendag 50/2020 untuk melindungi UMKM lokal dari potensi diterapkannya Project S TikTok di Indonesia.
Menurut Teten, revisi ini perlu segera dirampungkan karena sudah diwacanakan sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit.
Pembahasan mengenai revisi Permendag 50/2020 sudah dilakukan dengan intensif bersama kementerian/lembaga terkait, dan draf perubahan untuk revisi beleid itu sudah diberikan kepada pihak Kemendag.
"Ini sudah sangat urgent. Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisinya. Aturan ini nampaknya macet di Kemendag," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (6/7/2023).
Revisi aturan itu diyakini akan melindungi industri dalam negeri, termasuk e-commerce dalam negeri, UMKM, serta konsumen. Pasalnya, dengan revisi ini, harga produk impor dipastikan tak akan memukul harga milik UMKM.
Baca juga: Aturan Social Commerce Dinilai Longgar, TikTok Jadi Ancaman UMKM?
Revisi ini juga diperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social-commerce. Nantinya, tentu diperlukan aturan lebih detail mengenai pengaturan white labelling sehingga tidak merugikan UMKM di Indonesia.
Perubahan beleid itu juga bisa membatasi produk-produk impor masuk ke pasar digital Tanah Air.
Terlebih, produk asing yang dijajakan di TikTok Shop dan e-commerce lain juga sudah banyak diproduksi oleh industri dalam negeri, sehingga Indonesia tak perlu lagi mengimpor produk tersebut.
"Kita bukan ingin menutup pasar Indonesia untuk produk asing. Tapi, kita ingin produk asing atau impor mengikuti aturan main yang sama dengan produk dalam negeri dan UMKM," ungkap Teten.
Baca juga: Kominfo Diminta Tertibkan Social Commerce, Ini Alasannya
Laporan mengenai Project S TikTok pertama kali diungkapkan Financial Times pada artikel yang diterbitkan 21 Juni 2023. Istilah Project S mencuat seiring munculnya fitur 'Trendy Beat' pada aplikasi TikTok di Inggris.
Fitur tersebut menjual produk-produk populer yang sedang populer. Beberapa produk yang dipajang pada fitur 'Trendy Beat' yakni mulai dari alat pembersih telinga hingga penyikat bulu hewan peliharaan pada pakaian.
"Semua produk yang dipajang di fitur Trendy Beat dikirimkan dari China. Penjualnya merupakan perusahaan yang terdaftar di Singapura, tetapi tercatat dimiliki oleh ByteDance,” ungkap sumber yang mengetahui operasi itu, dikutip dari Financial Times, Jumat (23/6/2023).
Baca juga: Apa Itu Project S TikTok yang Bisa Gembosi UMKM Indonesia
Penjual produk-produk pada fitur ‘Trendy Beat’ adalah Seitu, menurut tautan yang dipasang pada fitur itu. Seitu yang terdaftar di Singapura terhubung dengan If Yooou, yakni bisnis ritel milik ByteDance.
Adapun ByteDance sendiri merupakan induk TikTok yang berbasis di Beijing, China. Kepala Anti-Penipuan dan Keamanan E-Commerce Global TikTok di Singapura, Lim Wilfred Halim, terdaftar sebagai Direktur Seitu.
Menurut sumber, model penjualan yang dilakukan TikTok mirip seperti yang dilakukan Amazon, yakni membuat dan mempromosikan produknya sendiri yang populer. Langkah itu menjadi perubahan besar dari model penjualan TikTok.
Saat ini di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, vendor lain memang bisa menjual barang melalui TikTok Shop, dan aplikator hanya mengambil sedikit komisi dari penjualan itu.
Namun, pada penjualan yang dilakukan di fitur ‘Trendy Beat’ TikTok, komisinya sepenuhnya akan dimiliki oleh ByteDance.
Baca juga: ByteDance, Perusahaan di Balik TikTok Raup Laba Bersih Rp 44,3 Triliun
"Upaya untuk mulai menjual produknya (TikTok) sendiri dikenal secara internal sebagai 'Project S'," menurut enam sumber yang akrab dengan pembicaraan di internal.
Adapun 'Project S' dipimpin oleh Bob Kang, Kepala E-commerce ByteDance. Project S memanfaatkan pengetahuan TikTok tentang produk viral di aplikasi, yang memungkinkan ByteDance memperoleh atau membuat barang-barang itu sendiri.
"Kemudian perusahaan akan gencar mempromosikan produk yang ada di ‘Trendy Beat’ dibandingkan barang yang dijual oleh pesaing di aplikasi TikTok,” kata sejumlah sumber.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya