Namun terlepas dari perdebatan independensi tadi, kebijakan kolaboratif tadi secara efektif mampu meredam efek buruk pandemi Covid-19 dan Indonesia menjadi salah satu negara paling cepat keluar dari resesi ekonomi.
Bahkan perekonomian Indonesia sudah berangsur-angsur pulih tatkala negara lain masih berjibaku menghadang penyebaran virusnya, alih-alih mengembalikan kinerja perekonomiannya.
Ibarat peribahasa yang sudah menjadi karaktar Bangsa Indonesia, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Kebijakan Burden Sharing telah memberikan energi tambahan kepada seluruh elemen bangsa untuk bergerak bersama, bergotong royong, bahu membahu keluar dari zona resesi kembali ke jalur yang jauh lebih baik.
Teori ekonomi dan keuangan adalah produk manusia yang dibuat dalam konteks waktu dan tempat ketika teori tersebut dibuat dan dikembangkan.
Teori adalah gambaran riil dari perilaku manusia pada situasi dan kondisi saat itu. Oleh karena itu, seharusnya teori berkembang secara dinamis mengikuti perubahan perilaku yang juga terus mengalami perubahan mengikuti tren waktu dan tempat.
Teori tidak boleh bersifat statis yang kaku dan tidak memberi toleransi perubahan. Teori harus bisa menjawab berbagai dinamika dan tantangan yang terus mengalami perkembangan.
Dalam konteksi ini, maka Burden Sharing menjadi kebijakan aplikatif dan realistis dalam menghadapi extraordinary condition seperti saat pandemi Covid-19 kemarin.
Kebijakan Burden Sharing dijadikan Standard Operating Procedure baru dalam UU ketika terjadi extraordinary condition yang mengancam stabilitas ekonomi dan keuangan nasional.
Peran pemerintah dan BI dalam UU P2SK digabungkan ke dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Komite ini memiliki kewenangan mulai dari menentukan indikator terjadinya krisis sampai ke langkah-langkah apa yang akan dilakukan untuk menghadapi krisis tersebut.
Di dalam UU P2SK, KSSK di bawah koordinasi menteri keuangan. Bahkan jika rapat pengambilan keputusan menghadapi jalan buntu, maka menteri keuangan sebagai koordinator komite berhak untuk melakukan veto dan mengambil keputusan atas nama KSSK.
Dengan pasal ini, maka secara tidak langsung BI seolah-olah berada di bawah menteri keuangan. Pasal ini yang sampai saat ini menjadi polemik, apakah posisi BI sudah tidak independen lagi?
Bahkan di dalam UU P2SK ada penambahan tugas BI, menjadikan BI seperti harus selalu manut kepada kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah, yaitu BI juga harus ikut mendorong pertumbuhan ekonomi berkesinambungan, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi pengangguran di samping masih tetap harus menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Namun terlepas dari polemik dan dinamika perdebatan publik tersebut, kebijakan Burden Sharing yang menjadi kebijakan kolaboratif antara otoritas kebijakan fiskal dengan moneter telah berhasil dengan baik membawa perekonomian Indonesia cepat pulih kembali pascapandemi Covid-19.
Keberhasilan kebijakan Burden Sharing dalam menghadapi pandemi Covid-19 beserta seluruh efek turunanya menjadi dasar penggunaan kebijakan tersebut pada saat krisis masa mendatang.
Kebijakan di luar pakem ini telah menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi dan kerja sama yang baik di antara lembaga negara akan menghasilkan kebijakan efektif dan efisien.
Namun sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan, kebijakan yang nampak baik ini masih menyimpan celah kekosongan yang bisa menjadi lubang malapetaka bagi tata kelola sistem keuangan kita.
Untuk menambal dan menutup celah tersebut diperlukan regulasi teknis yang mengatur pelaksanaan dan implementasi teknis di lapangan dengan baik.
Untuk mewujudkan kebijakan publik yang sesuai dengan harapan, maka diperlukan tata kelola yang baik (good governance).
Setidaknya ada empat prinsip utama yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan publik dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik, yaitu akuntabilitas, transparansi, independensi, dan kredibilitas.