Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kilas Balik Rini Soemarno Getol Jagokan China Garap Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Kompas.com - Diperbarui 21/09/2023, 17:37 WIB
Muhammad Idris

Penulis

"Pemerintah Jepang (proposalnya ditolak), karena tidak bisa mendapatkan jaminan pemerintah, tidak ada anggaran dari pemerintah, jadi otomatis proposal Jepang enggak diterima karena proposal Jepang mengharuskan adanya jaminan dari pemerintah," ujar Rini di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip dari pemberitaan Kompas.com 6 Oktober 2015.

Baca juga: Penumpang KCJB Tujuan Kota Bandung Disarankan Pakai Damri dari Tegalluar

Wanita yang lahir di Maryland, Amerika Serikat, itu menjelaskan, dari dua proposal kereta cepat yang disodorkan Jepang dan China kepada pemerintah, hanya proposal China dinilai memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah.

"Konsorsium BUMN sudah bernegosiasi dengan pihak Tiongkok karena proposal yang memenuhi kriteria tidak ada jaminan dan anggaran pemerintah," kata Rini.

Saat Jepang masih belum menyerah merayu Pemerintah Indonesia dan mencoba merevisi proposal yang akan diajukan ke Indonesia, Rini Soemarno bahkan selangkah lebih maju dengan menandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2016.

Sudah diperingatkan beberapa kalangan

Pada 2015, pengamat kebijakan publik Danang Parikesit mengaku kaget setelah mempelajari dua proposal kereta cepat Jakarta-Bandung yang disodorkan Jepang dan China.

Rupanya, kata dia, dua proposal itu memiliki parameter perencanaan yang berbeda-beda setelah dirinya mempelajari dan membandingkan proposal China maupun Jepang.

Baca juga: APBN Jadi Jaminan Utang Kereta Cepat, MTI: Tetap Menjadi Kewajiban PT KAI

"Membandingkan proposal Jepang dan Tiongkok tidaklah relevan. Selain mereka memiliki parameter perencanaan yang berbeda-beda, kedalaman analisis yang disampaikan juga tidak setara," kata Danang.

"Akibat dari parameter perencanaan yang berbeda-beda ini, seolah-olah kita membandingkan sushi dengan dimsum. Enggak bisa dibandingkan," ujar Danang.

Penegasan Jokowi haramkan APBN

Sesuai dengan janji dari China pula, baik Presiden Jokowi maupun para pembantunya, juga beberapa kali menegaskan untuk tidak menggunakan uang rakyat seperser pun untuk membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.

"Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business (b to b). Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi," kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, 15 September 2015.

Baca juga: Banyak Pihak Cibir Proyek Kereta Cepat, Menhub: Begitu Pakai, Baru Mereka Senang

Jokowi menegaskan, jangankan menggunakan uang rakyat, pemerintah bahkan sama-sekali tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah.

Hal ini karena proyek kereta cepat penghubung dua kota berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis.

"Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya b to b, bisnis," tegas Jokowi kala itu.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengingatkan bahwa hitung-hitungan ekonomi proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung yang diperkirakan menelan investasi Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun itu sangat jelas.

Baca juga: Kala Jonan Tak Hadir Saat Jokowi Groundbreaking Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan Alasannya...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com