Dahulu sekitar 30 tahun silam, jelas Setiyono, mereka transmigrasi disediakan oleh pemerintah sandang, pangan, dan papan.
"Dulu kami dibangun sawit juga enggak gratis. Pemerintah membantu sandang, pangan, dan rumah. Lalu dibuat kredit ke kami sehinga kami nyicil juga," jelasnya.
Baca juga: Kementan Perjuangkan Sawit Berkelanjutan agar Diterima di Pasar Uni Eropa
Adapun terkait isu lingkungan hidup, petani dan para pelaku usaha memiliki posisi yang jelas dan selalu mendukung.
Namun dengan syarat batas-batasnya harus jelas dan terukur, agar petani tidak lagi menjadi kambing hitam atas persoalan lingkungan.
“Kalau batasnya nggak jelas selalu kami jadi kambing hitam, karena batasnya seharusnya jelas. Kalau itu ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan produksi, kalau itu batasnya jelas petani semua tidak akan berani ganggu,” tutur Setiyono.
Sementara itu, Pakar perkebunan kelapa sawit, Prof Budi Mulyanto dari Institite Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan bahwa kelapa sawit adalah anugerah bagi bangsa Indonesia.
Baca juga: Indonesia Siap Gandeng Malaysia untuk Lawan Larangan Uni Eropa soal Sawit
"Sawit aslinya adalah tanaman dari pedalaman Afrika dan Alhamdulillah seperti menemukan rumahnya di Indonesia," ujarnya.
Budi menjelaskan, kelapa sawit di Indonesia juga menjadi salah satu yang terluas di dunia, yakni 16,4 juta ha dan memberikan ruang kerja kepada rakyat sekitar 16 juta orang. Juga memberikan dampak ekonomi luar bisa, PDB dari sawit yang sangat besar.
"Nah, karena kita bersyukur, maka kita harus bereskan semua persoalan di kelapa sawit ini, termasuk dalam peraturan perundangannya. Kita harus urut permasalahannya, dan kita analisis bersama," ungkap Budi.