Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Freeport di Indonesia

Kompas.com - 18/11/2023, 12:30 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Sumber ,Kompas.com

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah tahun 2041 mendatang.

Namun meski izin tambang untuk Freeport baru berakhir 18 tahun lagi, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), memutuskan untuk segera membahas soal perpanjangan izinnya sekarang.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan bahwa setelah kunjungan Jokowi ke Amerika Serikat (AS), salah satu hal krusial yang dibahas adalah perihal perpanjangan kontrak pertambangan Freeport Indonesia di Papua yang akan berakhir tahun 2041.

Arifin mengatakan IUPK PTFI bisa diperpanjang hingga tahun 2061 mendatang lantaran cadangan sumber daya mineral yang terhitung masih ada dan bisa terus dimanfaatkan.

Baca juga: Perlakuan Istimewa Jokowi ke Freeport

Sejarah Freeport di Indonesia

Tahun 1967 adalah periode penting bagi keberadaan Freeport di Indonesia.

Tepatnya pada 7 April atau belum genap dua bulan setelah resmi menjadi presiden kedua Indonesia, Soeharto memberikan izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di Papua.

Dilansir dari Kontan, selama masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno sama sekali belum pernah mengizinkan investasi perusahaan asing di Indonesia.

Dengan kata lain, Freeport adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) pertama di Tanah Air.

Saat Orde Baru masih berumur jagung, ekonomi Indonesia terbilang masih karut-marut. Meletusnya peristiwa G30S dan huru-hara di sejumlah daerah pasca-peralihan kekuasaan membuat situasi ekonomi tidak stabil.

Baca juga: Judi Porkas, Undian Lotre yang Dilegalkan pada Masa Soeharto

Salah satunya adalah inflasi yang mencapai 600-700 persen yang ditandai dengan meroketnya harga kebutuhan pangan.

Otomatis, pembangunan infrastruktur terhenti saat itu. Presiden Soeharto bergerak cepat melakukan stabilisasi ekonomi, termasuk membuka keran investasi bagi Freeport.

Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut dilakukan di Departemen Pertambangan Indonesia.

Ketika itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan Freeport Sulphur.

Penandatanganan KK disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.

Baca juga: Jokowi Bakal Izinkan Freeport Keruk Emas Papua sampai 2061

Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan.

Soeharto resmikan operasional Freeport

Namun meski sudah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia di tahun 1967, Freeport baru bisa benar-benar menambang emas dan tembaga di Papua pada tahun 1973.

Penambangan Ertsberg dimulai Freeport pada Maret 1973. Pada Desember 1973 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang.

Saat itu, Presiden Soeharto bahkan terbang langsung ke Papua untuk meresmikan fasilitas produksi di Tembagapura.

Dalam pidatonya, Soeharto begitu tampak sumringah dengan keberhasilan pertambangan di Freeport.

Baca juga: Rekam Jejak Bisnis Kayu Bob Hasan, Raja Hutan di Era Orde Baru

Menurut Soeharto, investasi Freeport di Indonesia adalah bukti kepercayaan investor menanamkan uangnya di Indonesia.

Praktis setelah masuknya Freeport, arus investasi asing begitu deras masuk ke Indonesia, terbesar berasal dari AS dan Jepang.

Freeport diberikan izin menambah selama jangka waktu 30 tahun dalam skema Kontrak Karya (KK) yang bisa diperpanjang.

Di awal kehadirannya, Freeport juga sempat berkonflik dengan penduduk setempat, terutama Suku Amungme.

Dalam kontrak karya pertama disepakati, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport sebesar 1,5 persen dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari 0.9 dollar AS/pound) sampai 3,5 persen dari harga jual (jika harga 1.1 dollar AS/pound).

Baca juga: Saat Korupsi Gerogoti Garuda Indonesia di Era Orde Baru

Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1 persen dari harga jual.

Jelang Kontrak Karya berakhir, Freeport menemukan cadangan Grasberg atau tepatnya pada periode tahun 1980-1989.

Lalu pada tahun 1991, pemerintah Indonesia kemudian mengizinkan Freeport terus menambang di Papua untuk jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga tahun 2021 dengan hak perpanjangan sampai dengan 2 kali 10 tahun.

Di Papua, Freeport tak hanya menambang tembaga, namun juga menambang emas dan perak. Grasberg bahkan disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia.

Baca juga: Kisah Tragis Teuku Markam, Penyumbang 28 Kg Emas Monas, Dipenjara Orba, Asetnya Disita

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com