Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri BPR Diimpit Bank Umum di Daerah, ibarat Daud Lawan Goliat

Kompas.com - 29/01/2024, 13:17 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) disebut dalam posisi persaingan yang sulit. Hal tersebut disebut berkaitan dengan banyaknya BPR bangkrut beberapa tahun belakangan.

Ekonom sekaligus Direktur Esekutif Segara Research Institute Piter Abdullah bahkan mengibaratkan, persaingan BPR dan bank umum layaknya kisah Daud yang berusaha melawan Goliat.

"(Persaingan BPR dan bank umum) ini seperti David melawan Goliath, di mana kaki David diikat," kata dia kepada Kompas.com, Senin (29/1/2024).

Baca juga: LPS Siapkan Sistem Teknologi Pengawasan BPR, Diterapkan mulai 2025

Ilustrasi bank. SHUTTERSTOCK/KEVIN GEORGE Ilustrasi bank.
Ia menjabarkan, BPR pada umumnya adalah bank yang sangat kecil, bahkan disebut masuk lembaga keuangan mikro. Idealnya, sebuah BPR beroperasi di tingkat kecamatan atau desa.

Hal itu lantaran BPR memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kawasan rural atau pedesaan.

"Seharusnya mereka (BPR) dilindungi dari persaingan dengan bank besar, tapi kenyataannya BPR berhadapan dengan bank besar di daerah," imbuh dia.

Piter menjelaskan, BPR tidak memiliki permodalan yang kuat untuk menghadapi persaingan dengan bank umum di desa yang sepatutnya menjadi wilayah mereka. Tak hanya permodalan, BPR juga menghadapi hambatan teknologi, dan sumber daya manusia untuk mengembangkan unitnya.

Baca juga: Percepat Konsolidasi BPR, OJK Bakal Beri Insentif

Selain itu, BPR juga masih memiliki keterbatasan ruang gerak usaha seperti belum dapat menjadi bank devisa, pembukaan giro, dan layanan transfer belum dapat dilakukan lewat BPR.

Adapun perluasan ruang gerak usaha BPR baru diamanatkan melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Nantinya, BPR dapat menjalankan usaha penukaran valuta asing seperti bank umum.

 

Ilustrasi bank. SHUTTERSTOCK/ANTON_AV Ilustrasi bank.
Piter menekankan, faktor-faktor di atas membuat persaingan bank di daerah menjadi tidak adil dan timpang sebelah. Tak berhenti di sana, persaingan tersebut masih diperparah dengan gelontoran insentif yang justru diberikan kepada bank umum.

Sebagai contoh, bank umum mendapatkan program yang disubsidi pemerintah bernama kredit usaha rakyat (KUR). Program kredit kepada UMKM ini ada yang menawarkan bunga hingga 3 sampai 6 persen saja.

Baca juga: OJK Cabut Izin Usaha BPR Wijaya Kusuma di Madiun

Di sisi lain, BPR sendiri memiliki biaya dana atau cost of fund yang menyentuh angka 6 persen.

"BPR, cost of fund-nya mereka saja sudah di atas 6 persen, berhadapan dengan bunga KUR yang bisa 3-6 persen, sudah pasti kalah," tegas dia.

Tak hanya itu, beberapa program pemerintah yang menyesar kaum bawah seperti program Mekaar milik Permodalan Nasional Madani (PNM).

Lebih lanjut, Piter menjelaskan BPR yang tidak mampu mengembangkan teknologi dan sistem yang kuat akan semakin terpuruk. Meskipun begitu, ia tak memungkiri kalau ada juga BPR yang melakukan kecurangan atau fraud sehingga membuat usahanya bangkrut.

Baca juga: LPS Akan Bayar Jaminan Simpanan Nasabah BPR Wijaya Kusuma

"Saya tidak heran kalau setiap tahun ada BPR yang ambruk, tetapi tidak semuanya disebabkan oleh fraud itu. Bisnisnya itu berat," jelas dia.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa membeberkan, kebangkrutan BPR masih dipengaruhi oleh lemahnya tata kelola dan adanya kecurangan (fraud).

"Jadi BPR tetap mungkin jatuh, seperti yang saya bilang, rata-rata bisa 7 BPR per tahun. Ke depan mungkin akan seperti itu," kata dia.

Adapun besaran aset tidak akan berpengaruh pada kemungkinan bangkrut atau tidak. BPR juga biasanya tidak bangkrut atas alasan kondisi ekonomi maksro yang memburuk.

Ilustrasi bank.SHUTTERSTOCK/CREATIVE LAB Ilustrasi bank.

Baca juga: LPS Bayar Jaminan Simpanan Nasabah BPR Persada Guna Senilai Rp 1,7 Miliar

LPS mengaku siap menjamin simpanan nasabah yang ada di BPR. Itu dibuktikan dengan kepemilikan aset yang pada 2024 ini diperkirakan akan mencapai Rp 230 triliun.

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mempercepat kondolidasi antar BPR. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah memberikan insentif agar BPR dapat beroperasi di wilayah yang lebih luas.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, penurunan jumlah BPR tidak hanya dipengaruhi oleh pencabutan izin usaha. Selain itu, jumlah BPR berkurang juga terjadi karena adanya konsolidasi dan BPR yang terdampak Covid-19.

Sebagai catatan, pada 2020 jumlah BPR di Indonesia mencapai 1.669 unit. Jumlah tersebut turun pada 2021 menjadi sebanyak 1.632 unit dan pada 2022 jadi sebanyak 1.608 entitas.

Baca juga: BPR Bangkrut, LPS: Rata-rata Bisa 7 Bank Per Tahun

Teranyar, berdasarkan data per Desember 2023 jumlah BPR di Indonesia ada sebanyak 1.581 unit.

"Namun begitu, beberapa indikator kinerja industri keuangan BPR menunjukkan pertumbuhan positif, seperti aset, kredit atau pembiayaan, dan dana pihak ketiga (DPK)," ujar Dian.

Ia menambahkan, proses penguatan tata kelola BPR juga dapat didorong dengan penggabungan atau merger. Saat ini, konsolidasi gencar dilakukan BPR terutama dari entitas yang memiliki satu kepemilikan.

Sebagai informasi, Sepanjang tahun ini, OJK telah mencabut izin 2 BPR, yakni BPR Wijaya Kusuma di Madiun dan BPRS Mojo Artho di Mojokerto.

Baca juga: LPS Sebut BPR Bangkrut Paling Banyak Berasal dari Jawa Barat

Pada 2023, OJK telah mencabut izin usaha 4 BPR lain yakni BPR Bagong Inti Marga (BIM) di Jawa Timur, Perumda BPR Karya Remaja Indramayu (BPR KRI) di Jawa Barat, BPR Indotama UKM Sulawesi, dan BPR Persada Guna di Jawa Timur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com