Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Food Estate" Era Soeharto dan Kerusakan Masif Hutan di Kalimantan

Kompas.com - Diperbarui 06/02/2024, 22:42 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Program food estate (lumbung pangan) yang dicetus oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus dikritik oleh banyak orang karena dinilai gagal dan mengakibatkan kerusakan ekologi.

Sejak awal proyek ini muncul, memang menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Perdebatan proyek ini semakin memanas jelang penyelenggaraan Pilpres 2024 lantaran food estate merupakan program unggulan yang akan diteruskan Pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Secara garis besar, food estate merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk melakukan pengembangan pangan secara terintegrasi baik dalam lingkup pertanian, perkebunan, peternakan pada suatu kawasan tertentu.

Lantaran kebanyakan dikembangan di area baru, maka food estate perlu membuka lahan dengan mengorbankan hutan maupun gambut. Program ini juga salah satu kebijakan pemerintah pusat yang telah masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) periode 2020-2024.

Baca juga: Bisnis Bob Hasan, Julukan Raja Hutan dan Kedekatan dengan Soeharto

Sebagai program nasional, pelaksanaan food estate pun tersebar di hampir seluruh pulau besar di Indonesia. Mulai dari provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua.

Food estate era Soeharto

Tudingan kegagalan program food estate era Jokowi mengingatkan kembali pada proyek serupa di era Presiden Soeharto. Sasarannya adalah hutan Kalimantan yang dibuka penguasa Orde Baru untuk kemudian dijadikan sawah.

Niat Soeharto sejatinya mulia, yakni agar Indonesia tak terlalu bergantung pangan beras dari Pulau Jawa. Pulau Kalimantan pun dipilih karena lahannya yang relatif paling luas.

Soeharto berencana mengembangkan lahan gambut seluas 1,45 juta hektar pada tahun 1995 di Kalteng. Pemilihan Kalteng sebagai lokasi lumbung beras dilatarbelakangi oleh kondisi wilayahnya.

Baca juga: Judi Porkas, Undian Lotre yang Dilegalkan pada Masa Soeharto

Pada waktu itu, terdapat lahan rawa seluas 5,8 juta hektar dari total luas kawasan Kalteng. Di sisi lain, penduduk provinsi ini hanya 1,6 juta jiwa atau sebanyak 9 jiwa per kilometer persegi.

Megaproyek ini juga ditargetkan dapat menampung 316.000 kepala keluarga (KK) atau 1,7 juta jiwa transmigran. Masyarakat lokal juga diberdayakan dalam program ini.

Mengutip pemberitaan Harian Kompas 20 Februari 2002, dengan nama Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar, dipilihlah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah sebagai lokasi cetak sawah baru seluas 3.000 hektar.

Untuk mendukung megaproyek pertanian tersebut, rezim Presiden Soeharto memukimkan 64.000 jiwa transmigran asal Jawa dan lokal untuk menjadi petani penggarap.

Sebanyak Rp 2,1 triliun pun digelontorkan untuk membangun proyek, dana yang cukup besar untuk ukuran APBN kala itu.

Berselang tiga tahun, proyek PLG Sejuta Hektar dinyatakan gagal dan diputuskan berhenti. Keputusan dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998.

Kegagalan PLG dinilai akibat kurangnya kajian sosiologis dan ekologis terhadap ekosistem gabut dan masyarakat lokal.

Baca juga: Sejarah KA Argo Parahyangan yang Kini Jadwalnya Berkurang Drastis

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com