Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dewan Periklanan Indonesia Tolak Larangan Iklan Rokok di RPP Kesehatan

Kompas.com - 28/05/2024, 12:44 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Periklanan Indonesia (DPI) menolak pelarangan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau termasuk rokok, yang diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Ketua DPI M Rafiq mengatakan, sudah mengirimkan surat ke Istana Negara hingga Kementerian Kesehatan untuk dilibatkan dalam pembahasan RPP Kesehatan. Namun, surat tersebut belum direspons oleh pemerintah.

"Kami juga bersurat ke Istana Negara dengan tembusan hampir semua menteri ada Menko Maves, kita tembuskan juga ke Sekretariat Negara, kita tembuskan juga ke Menteri Kesehatan, kita tembuskan juga ke DPR," kata Rafiq dalam Konferensi Pers di Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2024).

Baca juga: Gappri Minta Pemisahan Pengaturan Produk Hasil Tembakau dari RPP Kesehatan

Rafiq mengatakan, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meninjau ulang pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di RPP Kesehatan.

Ia juga meminta agar regulasi tersebut tidak disahkan tanpa adanya pelibatan DPI sebagai perwakilan dari industri periklanan dan kreatif.

"Rencana aturan yang masih menuai polemik ini nantinya dapat menghambat pengembangan industri ekonomi kreatif, yang telah menjadi komitmen kuat baik bagi pemerintahan saat ini dan pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran," ujarnya.

Rafiq mengatakan, iklan rokok sudah diatur dalam berbagai pengaturan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Baca juga: Mengurai Efek Ganda RPP Kesehatan bagi IHT, Potensi Picu PHK dan Ancam Petani

Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 guna memastikan komunikasi yang ditujukan oleh produsen hanya menjangkau konsumen dewasa (berusia 18 tahun ke atas).

ia mengatakan terdapat rambu-rambu tentang iklan rokok telah diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Zeluruh peraturan dan ketentuan tersebut telah dipatuhi secara disiplin oleh pelaku industri kreatif.

"Sebelum pandemi, tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif mencapai sekitar 1 juta orang, pasca-pandemi tersisa 750.000 orang. Jika pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau ditetapkan di RPP Kesehatan, maka kami khawatir angka tenaga kerja tersebut bisa kembali merosot,” tuturnya.

Lebih lanjut, Rafiq mengatakan, apabila RPP Kesehatan tersebut disahkan, maka industri televisi akan kehilangan pendapatan sekitar Rp 9 triliun per tahun lantaran tak bisa bekerja sama dengan perusahaan rokok.

Baca juga: Ada RPP Kesehatan, Pekerja Rokok Tembakau Minta Capres Tunjukkan Kepedulian

"Begitu juga di radio akan kehilangan kue iklan cukup besar, teman-teman di Indonesia Digital Association, dan teman-teman di perusahaan periklanan Indonesia," ucap dia.

Adapun pemerintah saat ini tengah menyusun draf atau Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan).

Rencananya, RPP itu akan memuat sejumlah pengendalian produksi, penjualan, dan sponsorship produk tembakau. Namun demikian, RPP itu dinilai bisa mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Baca juga: Ada RPP Kesehatan, Petani Tembakau Minta Capres Terpilih Nanti Peduli akan Nasib Mereka

Berdampak luas

Pada akhir tahun lalu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomi (Kemenko Perekonomian) mengatakan, penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan masih dalam pembahasan dan belum menemukan kesepakatan khususnya terkait pengamanan zat adiktif.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com