"Kami telah ajukan kasasi terhadap putusan ini, klien kami WNA, kami harus malu dengan hukum Indonesia yang sangat tidak adil dan zalim seperti ini,” ujarnya.
Damian pun memohon kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memeriksa, mengadili, dan membatalkan putusan pailit tersebut.
Untuk diketahui, akar perkara kasus sengketa kedua pihak bersumber dari Akta Perjanjian nomor 78 (Akta No.78) yang dibuat oleh Sjarnoebi Said pada 20 April 1998.
Sjarnoebi adalah pendiri Krama Yudha yang memiliki 99 persen saham Krama Yudha yang menjadi pihak pertama.
Sementara itu, pihak kedua terdiri dari lima orang yaitu:
Akta 78 turut menjelaskan jasa-jasa pihak kedua bagi Krama Yudha selama ini sehingga pihak pertama memberikan bonus sebesar 18 persen dari keuntungan bersih Krama Yudha kepada pihak kedua dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut:
Baca juga: Mengenal Apa Itu Pailit dan Bedanya dengan Bangkrut
Perjanjian dilaksanakan dengan catatan hanya berlaku bagi janda Nuni Asmuni Said, selama yang bersangkutan belum menikah. Apalagi yang bersangkutan menikah lagi, bonus tersebut gugur secara hukum sejak tanggal pernikahaannya. Hal ini juga berlaku kepada janda Srikandi Dja'far Said.
Akta 78 juga berisi hal-hal berikut:
Kasus ini menarik perhatian Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Baca juga: Ketua MAKI Siap Bantu Blora Ajukan JR UU HKPD, Bupati Arief Sambut dengan Tangan Terbuka
Bonyamin mengatakan, Putusan Nomor 226 itu seharusnya tidak bisa diputus dalam PKPU maupun pailit karena tidak sederhana dan harus dibuktikan lewat pengadilan perdata biasa.
"PKPU dan kepailitan itu kan jelas harus utangnya dibuktikan secara sederhana, tetapi kalau dalam perkara ini kan karena ada janji pemberian bonus dalam akta notaris pada 1998,” katanya.
Namun, dia menyebutkan, pihaknya tidak mengetahui kapan pemberian akta itu berlaku dan berakhir, termasuk bentuk atau formatnya sehingga harus dibuktikan pengadilan perdata.
Selain itu, Boyamin menyoroti ketidakjelasan jumlah utang dalam kasus tersebut. Jumlah yang diajukan tidak bisa langsung dikonversi dari laba bersih perusahaan dan harus ditetapkan hakim pengawas.
"Jadi, ada tiga hal ini salah kamar dan hakimnya juga tidak mencermati dengan seksama. Pertama, ini hal ini tidak sederhana. Kedua, jumlah utang yang tak jelas masa waktu perjanjian dari kapan sampai kapan formatnya bagaimana," jelasnya.
Baca juga: Kapan Debitur Dinyatakan Pailit? Ini Penjelasan Guru Besar Unpad
Dia berharap, permasalahan itu tidak menjadi peristiwa buruk dalam penyelesaian utang piutang di Indonesia dan tidak mencerminkan keadilan, apalagi ahli warisnya merupakan WNA Singapura.
"Jadi, dalam kasus ini para hakim, pengurus, dan kurator harus berhati-hati menilai kasus ini ke depan apabila ada upaya hukum dan penyelesaian mekanisme lainnya," katanya.
Selain itu, Boyamin mengkritik kinerja Ketua Majelis Hakim Heneng Pujadi dan Betsji Siske Manoe serta menyarankan agar kedua hakim ini diganti dengan hakim lain yang lebih objektif.
Ia juga mengusulkan Badan Pengawas (Bawas) MA turun tangan untuk memeriksa kedua hakim ini. Pasalnya, menurut Bonyamin, dua hakim ini mengeluarkan putusan-putusan yang kontroversial, baik dalam kasus ini maupun kasus-kasus lainnya.
"Kami sudah menyurati Komisi Yudisial (KY) dan Bawas MA agar kasus ini diatensi dan semuanya jelas dan terang," tuturnya.
Baca juga: Hak dan Kewajiban Orang Asing dalam Hukum Keimigrasian
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.