Analogi sederhana adalah ketika melakukan pembelian barang secara online. Beban ongkos kirim yang tinggi dapat membuat konsumen menjadi kurang tertarik untuk membeli barang.
Ketika ongkos kirim yang dibebankan mahal, konsumen akan berpikir ulang untuk membeli barang. Apalagi jika durasi pengiriman lebih lama, tentu akan mengurangi minat pembelian oleh konsumen.
Pada umumnya, konsumen cenderung memilih produk dengan kualitas bagus dan harga lebih murah (value for money). Bukan berarti produk berkualitas tinggi selalu akan dipilih. Namun, kualitas produk tetap harus memenuhi batas minimal sesuai kebutuhan.
Selanjutnya, ketika barang sudah memenuhi standar kualitas minimal, konsumen akan mempertimbangkan harga total.
Beberapa indikator berpengaruh terhadap distribusi logistik. Sebagai contoh, panjang jalan di Indonesia mencapai 547.000 Km, terdiri dari 47.000 Km jalan nasional, 55.000 Km jalan provinsi, dan 445.000 Km jalan kabupaten/kota.
Untuk jalan nasional, 44.000 Km sudah diaspal (94 persen). Sedangkan untuk jalan provinsi, 41.000 Km sudah diaspal (75 persen). Sementara itu, dari jalan kabupaten/kota, 234.000 Km sudah diaspal (52 persen).
Berdasarkan kondisi jalan, hanya 36 persen dan 56 persen jalan nasional dalam kondisi baik dan sedang. Sisanya 8 persen kondisi rusak atau rusak berat.
Pada jalan provinsi, 56 persen dan 20 persen jalan provinsi dalam kondisi baik dan sedang. Sedangkan sisanya 24 persen kondisi rusak atau rusak berat.
Pada jalan kabupaten/kota, 42 persen dan 21 persen berstatus baik dan sedang. Sedangkan sisanya 37 persen kondisi rusak atau rusak berat.
Dari data tersebut terlihat bahwa kualitas jalan yang menurun dari tingkat nasional ke tingkat kabupaten/kota. Kualitas jalan sangat penting, baik untuk aktivitas investor dan aktivitas penduduk secara umum.
Sebagai contoh, bagi investor yang memiliki usaha perkebunan tentu saja membutuhkan akses jalan kabupaten untuk mengangkut hasil perkebunan ke pabrik pengolahan.
Akses lain yang penting adalah pelabuhan. Bagaimanapun, pengiriman lewat laut masih menjadi pilihan utama eksportir.
Menurut laporan Global Competitiveness Report 2019 oleh World Economic Forum (WEF), daya saing pelabuhan Indonesia memiliki skor 4,3 dan berada di peringkat ke-61 dari 141 negara.
Penilaian efisiensi didasarkan pada frekuensi, ketepatan waktu, kecepatan, dan tarif bongkar muat di pelabuhan.
Terdapat peningkatan daya saing untuk kinerja pelabuhan. Pada tahun 2009, Indonesia berada di peringkat ke-95 dengan skor 3,4. Sayangnya, WEF tidak lagi menerbitkan laporan tersebut saat ini.