JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang menghadiri acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan.
Presiden Jokowi datang ke sana atas undangan dari penyelenggara acara tersebut. Dalam kesempatan tersebut, presiden memberikan pidato singkat dalam sesi BRICS Plus.
Pada kesempatan itu, Jokowi menyinggung soal tatanan ekonomi duna yang tidak adil bagi negara miskin dan berkembang.
Lantas apa itu BRICS? Siapa saja anggotanya dan apa yang dibicarakan dalam kelompok ini?
Baca juga: BRICS Bakal Tambah 6 Anggota Baru Tahun Depan, Simak Daftarnya
Pada dasarnya BRICS adalah perkumpulan negara-negara berkembang utama di dunia.
Saat berdiri 2006, kelompok ini bernama BRIC. Nama tersebut diambil dari akronim anggotanya yakni Brasil, Rusia, India, dan China. Pembentukan BRICS ini diprakarsai oleh Rusia.
Pada 2010, Afrika Selatan bergabung dan mengubah namanya menjadi BRICS.
Baca juga: Putin Sebut Penggunaan Dollar AS di BRICS Kian Berkurang
Kelompok ini bermula dari prediksi Goldman Sachs Economic Research Group pada 2001 yang mengatakan, ekonomi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan akan meningkat.
Blok ini didirikan guna menyediakan platform untuk menantang tatanan dunia yang didominasi Amerika Serikat dan sekutu Barat.
Namun kelompok ini bukan kelompok multilateral formal seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Bank Dunia, atau OPEC.
Kepala negara dan pemimpin negara mengadakan pertemuan setiap tahun.
Baca juga: Tantangan dan Peluang Indonesia Lakukan Dedolarisasi dan Gabung BRICS
Sedikit catatan, semua negara BRICS adalah negara anggota G20.
Saat ini, negara-negara BRICS menyumbang hampir 42 persen dari total populasi global, 25 persen dari total ekonomi global, dan 20 persen dari total perdagangan global.
Pada 2022, gabungan dari kelima negara anggota BRICS memiliki lebih dari 14 persen hak suara (voting power) di Bank Dunia serta lebih dari 14 persen dari total saham di Dana Moneter Internasional (IMF).
Kerangka kerja BRICS+ yang meluas turut pula memperbesar hak suara di arena internasional. Berkat upaya BRICS yang vokal, daya tarik negara berkembang yang telah lama diabaikan akan lebih dihargai.
Baca juga: Aprindo Surati Jokowi 3 Kali agar Kemendag Bayar Utang Rp 344 Miliar
Organisasi ini disebut-sebut tandingan dari blok negara-negara ekonomi maju G7 yang beranggotakan Amerika Serikat, Perancis, Italia, Inggris, Jepang, Kanada, dan Jerman.
Tidak seperti G7 yang digerakkan oleh ideologi dan NATO yang melahirkan Perang Dingin, BRICS mengklaim tidak tertarik pada permainan geopolitik atau mentalitas menang-kalah (zero-sum).
Pada 2010, atas desakan dari negara-negara BRICS, negara-negara maju sepakat untuk mengalihkan 3,13 persen hak suara di Bank Dunia dan 6 persen saham di IMF kepada para anggota yang tergolong sebagai negara berkembang.
Baca juga: Jokowi Bidik Pertumbuhan Ekonomi 5,2 Persen, Pengamat: Angka Kompromi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.