Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Dagang Karbon dan Nasib Mitigasi Perubahan Iklim

Kompas.com - 05/10/2023, 11:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 2 Agustus 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia menetapkan Peraturan OJK RI Nomor 14/2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. Melalui Surat keputusan KEP-77/D.04/2023, pada 18 September 2023, OJK merilis izin usaha Bursa Karbon Indonesia (BKI) ke Bursa Eefek Indonesia (BEI).

Pada 26 September di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Presiden Joko Widodo meresmikan rilis Bursa Karbon Indonesia. Menurut Presiden Joko Widodo, hasil dagang karbon akan direinvestasi ke upaya-upaya merawat lingkungan hidup, khususnya pengurangan emisi karbon.

Pada 4 Juli 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Sasaran Perpres ini ialah koordinasi kendali perubahan iklim akibat lonjakan gas rumah kaca (greenhouse gases/GHG) khususnya di Indonesia yang meliputi lebih dari 17.000 pulau dan wilayah perairan serta secara geografis rentan terhadap perubahan iklim.

Baca juga: Perusahaan Tambang Mulai Beli Unit di Bursa Karbon

Perdagangan karbon adalah kegiatan jual-beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Begitu bunyi Pasal 1 ayat 6 Perpres No. 46/2008. Mitigasi perubahan iklim adalah usaha-cegah perubahan iklim dengan menurunkan emisi GHG atau meningkatkan penyerapan GHG dari berbagai sumber emisi GHG.

Setahun setelah rilis Perpres No.46/2008 itu, Tamra Gilbertson dan Oscar Reyes -peneliti pada Carbon Trade Watch/Transnational Institute (TNI)- merilis hasil riset setebal 104 halaman dengan judul: “Carbon Trading : How it works and why it fails” (2009). Buku ini mengutip Fourth Assessment Report (2007) dari 2.500 ahli Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan mengisyaratkan kegagalan dagang-karbon.

Ahli-ahli IPCC menyebut bahwa jika tren perubahan iklim atau pemanasan global awal abad 21 tanpa kendali, risikonya ialah lonjakan panas Bumi sekitar 6 derajat Celsius dan kenaikan permukaan laut global sekitar 60 cm tahun 2100.

Apakah dagang-karbon efektif kendali risiko perubahan iklim akhir-akhir ini hingga tahun 2100? Dagang karbon atau bursa karbon adalah suatu instrumen atau sarana mekanisme pasar dengan skema dagang emisi karbon (emission trading scheme/ETS) yang nyaris tidak memengaruhi langsung ke tata-kelola lahan (tanah) sebagai pusat vegetasi, pohon-pohon, atau air di Bumi.

Bursan karbon atau ETS menjadikan karbon dioksida (CO2) dan gas rumah-kaca (GHG) adalah komoditas dagang. Harganya ditentukan oleh pasokan dan permintaan pasar; asumsinya, permintaan bahan bakar fosil sebagai pendorong utama perubahan iklim, bakal berkurang (Olivier, et al., 2020); sebaliknya, tata-kelola ekonomi emisi karbon-rendah memiliki daya-saing pasar melalui aliran investasi ke sumber energi yang rendah atau zero karbon, misalnya tenaga surya, angin, air, dan biomassa.

Dagang (bursa) karbon bekerja melalui penetapan batas total kuantitatif emisi GHG atau CO2 dari semua peserta-penghasil emisi. Akibatnya, harga karbon sesuai dengan target ini. Penghasil emisi lebih banyak dari kuotanya, harus membeli hak emisi dari penjual yang menghasilkan emisi lebih kurang dari kuotanya. Mekanisme pasar ini sekarang terjadi di Uni Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara lain (ICAP, 2021).

Pasar Karbon

Penghasil GHG atau gas rumah kaca selama ini tidak menanggung biaya ekonomi akibat emisi GHG-nya (Halsnæs et al., 2007). Jenis risiko ini hanya disebut ‘biaya eksternal’ (Toth, et al., 2005) yang justru sangat berdampak terhadap sehat-lestari pihak lain atau lingkungan hayat suatu negara, khususnya perubahan iklim (Goldemberg, et al., 1996:29).

Misalnya, atmosfer adalah barang umum-global; maka GHG adalah komponen ‘eksternal-global’ dan berkenaan dengan hak-properti atmosfer.

Emisi dari semua penghasil GHG menghasilkan seluruh stok GHG di atmosfer planet Bumi. Melalui dagang karbon ‘cap-and-trade’ di ETS Uni Eropa, misalnya, batas akses ke suatu sumber daya (cap) ditetapkan dan dialokasi ke antara pengguna melalui izin-izin. Unsur kepatuhan ditentukan melalui perbandingan emisi aktual dengan izinnya. Risiko lingkungan dari dagang karbon bergantung pada penetapan batasan emisinya.

GHG diregulasi, misalnya, satu izin emisi kira-kira setara dengan satu ton emisi CO2. Izin-izin emisi lainnya ialah kredit karbon, unit Kyoto, dan unit Certified Emission Reduction (CER). Izin-izin ini dijual-beli secara partikelir atau pasar global sesuai harga pasar, bahkan izin dapat dialihkan antar-negara. Tiap alih-izin emisi antar-negara mesti divalidasi oleh UNFCCC. Sedangkan alih-kepemilikan izin di zona Uni Eropa, divalidasi oleh Komisi Eropa. Ini adalah mekanisme pasar dagang-karbon, khususnya dagang karbon di Uni Eropa.

Mekanisme pasar karbon adalah unsur pokok arsitektur lembaga keuangan dan program pemerintah dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Nicholas Stern et al. (2006:viii) menyebut bahwa dagang karbon adalah upaya koreksi terhadap kegagalan pasar selama ini. Perubahan iklim pun dilabel sebagai ‘kegagalan pasar’ yakni gagal menetapkan harga karbon atau seakan-akan tanpa nilai dalam tiap keputusan ekonomi dan keuangan.

Baca juga: Borong 3.000 Ton Karbon, Bank Mandiri Jadi Pionir Perdagangan Bursa Karbon

Bank Dunia (2005) juga menyebut bahwa GHG adalah barang uniform di atmosfer; sehingga GHG dapat dikurangi di tiap sudut planet Bumi dengan efek sama. Perubahan iklim adalah isu global, bukan lokal. Maka bukanlah soal, jika penurunan emisi terjadi di Brussel (Belgia) atau Beijing (Tiongkok). Komodotas itu ekuivalen dan harga dapat dihitung, sehingga dapat dijual-beli kapan saja dan di mana saja di berbagai negara.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com