Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Bakal Revisi Aturan Soal E-Commerce Demi Persaingan Sehat

Kompas.com - 25/05/2021, 18:26 WIB
Yohana Artha Uly,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perkembangan yang pesat pada ekonomi digital membuat pemerintah akan mengatur perdagangan di platform e-commerce.

Hal ini untuk menciptakan persaingan yang sehat pada pergadangan online.

Pengaturan itu akan dilakukan dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Baca juga: Gratis Ongkir hingga Pelatihan, Ini Hal yang Diinginkan Seller di Marketplace

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, mengubah beleid yang baru berumur setahun itu, merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan perdagangan yang sehat di dalam negeri, baik secara online maupun offline.

Lantaran gempuran barang impor yang masuk melalui platform e-commerce saat ini cukup tinggi dan dengan persaingan harga yang tidak sehat, sehingga berpotensi menghancurkan pelaku usaha dalam negeri, khususnya UMKM.

"Ada indikasi predatory pricing, yang bukan hanya menghancurkan kompetisi tapi tetapi juga industrinya. Kalau ini didiamkan UMKM kita mau kemana. Maka kita harus disiplin dengan kebijakan, ini tugas pemerintah untuk lakukan tata aturan," ujar Lutfi dalam diskusi virtual Harian Kompas: Melindungi UMKM di Kanal E-Dagang, Selasa (25/5/2021).

Ia menjelaskan, indikasi praktik predatory pricing salah satunya dialami oleh UMKM Indonesia yang menjual kerudung atau hijab dengan mempekerjakan 3.400 karyawan selama 2016-2018.

Total gaji yang dibayarkan untuk karyawan mencapai 680.000 dollar AS per tahun.

Baca juga: Di Lazada, Lebih Banyak Seller UMKM atau dari Luar Negeri?

Namun pada 2018, sebuah perusahaan asing melalui platform digital cross border menyadap seluruh informasi UMKM tersebut menggunakan teknologi artificial inteligence (AI).

Kemudian perusahaan yang mencuri data itu membuat produk serupa di luar negeri dan menjualnya ke Indonesia melalui platform digital tersebut dengan harga yang sangat murah Rp 1.900 per hijab.

Padahal, kata Lutfi, nilai bea masuk yang dibayarkan perusahaan tersebut dari impor jilbab hanya berkisar 43.000 dollar AS.

Nilai tersebut tak setara dengan kegiatan ekonomi yang diciptakan UMKM jilbab Indonesia yang membayar gaji 680.000 dollar AS.

"Jadi ini impor yang tidak berkualitas dan menghancurkan industri lokal," tambah Lutfi.

Baca juga: Jadi Super Seller di Bukalapak, Apa Keuntungannya?

Oleh sebab itu, aturan yang dibuat untuk platform e-commerce nantinya untuk meghindari praktik curang perdagangan seperti predatory pricing melalui subsidi harga, dumping dan sejenisnya yang merusak pasar.

Namun, Lutfi memastikan, aturan ini dibuat bukan untuk menjadikan Indonesia negara yang proteksionisme atau anti terhadap produk asing.

"Saya ingatkan, Permendag yang mau di ubah ini bukan untuk proteksiosme, tidak. Tidak ada yang larangan impor, tapi kalau pun dia mau impor, ketentuannya sama dengan importir yang offline. Jadi baik offline dan online sama," jelas dia.

Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag I Gusti Ketut Astawa mengatakan, pemerintah berupaya untuk membangun perdagangan yang adil di platform e-commerce.

Maka melalui revisi Permendag 50/2020, salah satunya akan memperjelas indikator-indikator terkait predatory pricing agar pelaku e-commerce punya acuan yang jelas terkait kategori praktik perdagangan yang tak sehat itu.

Baca juga: Kemendag: Penjualan di E-Commerce Meningkat Selama Puasa dan Lebaran

"Karena tidak semua bisa dikategorikan predatory pricing. Jadi akan jelas bagi pelaku e-commerce dalam terapkan aturan, tidak ada yang abu-abu karena ada kategorinya," jelas Ketut.

Selain itu aturan ini akan memperjelas ketentuan antara perdagangan offline dan online menjadi setara.

Seperti terkait legalitas produk dan kewajiban memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Tentu ini dalam pengawasannya juga perlu untuk ditingkatkan," kata Ketut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com