Proyek ini sebenarnya pernah hangat dibicarakan pada pertengahan tahun 2019 lalu, ketika Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Edison Maningkas kala itu, mengundurkan diri karena merasa pandangannya sudah tak sejalan dengan direksi terkait proyek blast furnace.
Menurut dia, harga pokok produksi (HPP) dari proyek blast furnace jauh lebih mahal ketimbang harga pasaran.
Perusahaan dipastikan bakal merugi bila proyek diberhentikan, namun perusahaan juga diperkirakan semakin merugi bila proyek ini tetap dilanjutkan.
Kala itu, Roy bilang, proyek tersebut telah mengalami keterlambatan selama 72 bulan dari jadwal pengoperasian, sehingga biaya proyek pun membengkak lebih dari Rp 3 triliun.
Oleh sebab itu, dia menilai proyek ini tak layak untuk dipertimbangkan oleh Kementerian BUMN karena dapat merugikan negara.
Baca juga: Tahun 2022, Krakatau Steel Operasikan Proyek Mangkrak Blast Furnace
"Proyek ini awalnya tidak sampai Rp 7 triliun dan sekarang over run menjadi kurang lebih Rp 10 triliun, over run budget-nya terlampaui Rp 3 triliun, saya pikir ini bukan angka yang kecil, ini besar," kata Roy di Kementerian BUMN, Selasa (23/7/2019).
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, tren meningkatnya utang dimulai di 2011 sampai dengan 2018 dengan akumulasi mencapai Rp 31 triliun.
Utang itu disebabkan beberapa hal, salah satunya pengeluaran investasi proyek blast furnace yang belum menghasilkan sesuai dengan rencana.
Oleh sebab itu, kata dia, ketika masuk ke Krakatau Steel pada akhir 2018, manajemen baru dibawah pimpinannya berupaya untuk menekan besaran utang tersebut.
Perseroan pun berhasil melakukan restrukturisasi utang pada Januari 2020, sehingga beban cicilan dan bunga menjadi lebih ringan.
Baca juga: Utang Capai Rp 31 Triliun, Bos Krakatau Steel Fokus Benahi Seluruh Lini Usaha
"Manajemen saat ini juga sudah mendapatkan solusi agar fasilitas atau pabrik yang tadinya mangkrak bisa jadi produktif,” jelas Silmy dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/9/2021).
Menurut dia, saat ini Krakatau Steel sudah memiliki dua calon mitra strategis, bahkan satu calon sudah menandatangani Memorandum of Agreement (MOA) dengan perseroan.
Sementara, satu mitra lagi sudah menyampaikan surat minat untuk bekerja sama dalam hal blast furnace.
Silmy bilang, hal tersebut menunjukkan sudah ada solusi atas proyek tersebut, sehingga ditargetkan akan dioperasikan pada kuartal III-2022 mendatang.
Pengoperasian blast furnace nantinya akan menggunakan teknologi yang memaksimalkan bahan baku dalam negeri yaitu pasir besi.
Baca juga: Erick Thohir Janji akan Selesaikan Kasus Korupsi di Krakatau Steel
"Penggunaan pasir besi ini akan menghemat biaya produksi dan menurunkan impor bahan baku dari luar negeri yaitu iron ore,” imbuh dia.
Silmy mengatakan, terkait adanya indikasi korupsi di masa lalu, tentu tetap menjadi perhatian manajemen saat ini.
Ia memastikan, ketika bergabung dengan Krakatau Steel dirinya fokus mencarikan solusi dan melihat ke depan agar perseroan bisa selamat terlebih dahulu dari kinerja keuangan yang buruk.
“Satu demi satu masalah di Krakatau Steel sudah kami atasi, perusahaan yang lama tidak untung, pabrik yang tidak efisien, maupun proyek yang belum selesai sudah banyak yang selesai dan sisanya sudah didapatkan solusinya,” pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.