Menurut hemat saya, ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam proses korporatisasi. Pertama yakni adanya model bisnis yang scalable. Sekali lagi, model bisnis, bukan produk. Pelaku startup telah membuktikan, bagaimana produk yang biasa saja (konsumsi sehari-hari) dengan model bisnis tertentu dapat di-scale up dan hasilkan nilai tambah yang tinggi.
Menaikkan nilai tambah itu soal teknikal, mulai dari inovasi produk, penanganan (sortasi, grading dan lainnya) sampai kemudian branding dan pengemasan. Dan paling penting pemasaran, yang dimulai dengan segmentasi yang tepat.
Kedua, model bisnis didesain untuk mengagregasi dan mengonsolidasi pelaku UMK. Yang agregasi itu terjadi pada rantai nilai suatu bisnis. Prosesnya, hal itu sangat mungkin dikerjakan bertahap, dimulai dari agregasi inbound logistic dengan mekanisme sesederhana pengadaan bahan baku bersama sampai aspek marketing, pemasaran bersama.
Dalam proses agregasi dan konsolidasi itu, distribusi peran wajib dilakukan. Mereka fokus pada aspek produksi/budidaya, kemudian perusahaan mengambil alih peran pada rantai nilai yang lain.
Ketiga, model bisnis didesain untuk secara jangka panjang memungkinkan dilakukan integrasi hulu dan hilir. Sudah kaprah nilai tambah tinggi dan resiko rendah berada di hilir. Sebaliknya, nilai tambah di hulu cenderung rendah dengan resiko lebih besar.
Itu sebabnya banyak middle man pada rantai pasok (supply chain) bisnis di Indonesia. Dengan adanya integrasi hulu-hilir (yang angkanya akan terlihat signifikan misalnya pada sektor pertanian), yang ada di hulu dapat memperoleh nilai tambah yang dihasilkan di hilir. Dengan begitu mereka bakal lebih sejahtera.
Keempat, basis kelembagaan di mana mereka semua dapat menjadi pemiliknya, dalam hal ini koperasi sangat tepat untuk itu. Nah, yang saya usulkan adalah koperasi multi pihak (KMP).
Koperasi pelaku UMK saat ini modelnya konvensional, didirikan, dianggotai, dan dikendalikan oleh mereka. Yang mana mereka tetap mengelola usahanya masing-masing. Jadilah beban ganda sehingga koperasi tidak beroperasi secara optimal dan ujungnya manfaatnya berkurang.
Kelima, setarikan nafas dengan koperasi multi pihak itu, perlunya menghadirkan entrepreneur yang menjadi motor serta direksi (pengarah) perusahaan. Hal ini menjadi penting sebab salah satu kelemahan UMK adalah rendahnya entrepreneurship.
Hasilnya, produk dan usaha hanya berbasis necessity dan bukannya opportunity. Kehadiran entrepreneur dapat mengungkit pertumbuhan mereka.
Baru sebulan lalu pemerintah menerbitkan regulasi tentang KMP melalui Permen Koperasi dan UKM No. 8 Tahun 2021. Kekhasan KMP adalah kemampuannya mengonsolidasi anggota dalam kelompok yang berbeda sesuai dengan perannya masing-masing.
Dengan konsolidasi itu, mobilisasi aneka modalitas/sumber daya menjadi mudah dilakukan. Bandingkan dengan corak koperasi konvensional yang anggotanya sejenis (konsumen semua, produsen semua, pedagang semua, dan seterusnya). Padahal nyatanya kita membutuhkan aneka kecakapan/keahlian tertentu dalam menjalankan suatu bisnis.
Korporatisasi UMK melalui KMP bisa dimulai dari pengembangan kelompok pihak anggota yang relevan untuk diagregasi dalam bisnis tersebut. Dalam konteks ini bisa tiga sampai empat kelompok.
Pertama, kelompok entrepreneur, orang-orang yang memiliki kecakapan bisnis, business insight, pengelolaan, dan kecakapan pendukung lain.
Kedua, kelompok pemilik usaha, berisi para pemilik (bos) usaha mikro/kecil. Ketiga, kelompok pekerja, yakni para pekerja yang berada di bawah masing-masing UMK. Keempat, kelompok investor, yakni para pemodal yang menjadi investor di koperasi tersebut.
Lalu hal apa yang membuat entrepreneur mau bergabung dalam (atau bahkan yang menginisiasi) koperasi tersebut?
Lewat KMP mereka bisa mengatur dan memperoleh insentif material dan immaterial atas kepeloporan/kewirausahaan yang dilakukan. Anggaplah kelompok entrepreneur ini berisi tiga sampai lima orang. Mereka bisa memperoleh deviden atas kepeloporan (bayangkan seperti golden share) sebesar 15-20 persen selama-lamanya. Insentif ekonomi inilah yang bakal membuat para entrepreneur tertarik.
Kemudian mengapa investor tertarik bergabung menjadi anggota?
Selain bagi hasil atas investasi dan deviden, mereka bakal memiliki voting right sehingga bisa mengendalikan langsung bisnis tersebut. Adanya kelompok ini juga akan mendatangkan modalitas lain, seperti business insight, akses pasar, jaringan kerja dan semacamnya. Yang biasanya hal seperti itu menubuh (embedded) dalam dirinya, hasil proses panjang tahunan dalam bentuk reputasi, personal guarantee dan sebagainya.