Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkara Minum Jamu

Kompas.com - 16/11/2022, 10:55 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Muhammad Idris

Tim Redaksi

Untuk menarik minat pembeli datang, dia sambil menjajakan peralatan berkebun dan alat-alat produksi jamu tradisional di kiosnya.

Yatmini mengaku sempat punya keingingan memproduksi lagi jamu Caping Gunung setelah berhenti. Tapi, dia pesimis bisa memenuhi semua persyaratan memperoleh izin edar, bahkan hingga sekarang.

“Sebenarnya pengin produksi jamu lagi. Saya sempat membayangkan, seandainya (produksi dan penjualan jamu) bisa bebas seperti dulu, ekonomi saya mungkin berkembang. Wong saya juga kan ga neka-neko. Tapi ya sudah, pemerintah wajibkan jamu harus punya NIE. Saya tak berani melawan,” ucap dia.

Yatmini menururkan, dirinya tak sendirian sebagai pedagang jamu di Pasar Nguter yang sempat memproduksi jamu racikan sendiri, tetapi kemudian memutuskan untuk berhenti karena terkendala izin.

“Yang mundur ada banyak, sekitar ada 4-5 pedagang. (Merek) Narodo yang dulu izinnya diajukan bersama dengan Caping Gunung juga kini sudah tak diproduksi lagi. Itu punya ponakan saya," jelas dia.

Baca juga: Minat Daftar Jadi Perangkat Desa? Ini Besaran Gajinya

"Mereka padahal sudah punya 15 produk yang berizin, tapi kemudian dicabut atau tak diperpanjang. Ada juga Monggo Mas yang sudah tidak dijual lagi. Kami akhirnya sekarang hanya menjual produk jamu lain yang punya izin edar, seperti Sabdo Palon, Gujati, Air Mancur, dan lain-lain,” kata dia lagi.

Perempuan yang sudah berjualan di Pasar Nguter lebih dari 30 tahun itu berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib pedagang jamu kecil apalagi Sukoharjo telah ditetapkan jadi Kota Jamu.

“Kalau saya lihat, ada banyak (masyarakat Sukoharjo) yang punya keinginan dan kemampuan meracik jamu. Harapan saya ya, kami-kami ini dapat difasilitasi, bukan malah dibiarkan atau dicari-cari salahnya ketika sedang merintis usaha,” ucap Yatmini.

Harga jamu ilegal

Kompas.com menemukan jamu tanpa izin edar di Pasar Nguter dari dua pedagang. Hal itu terjadi ketika Kompas.com berkunjung ke tujuh kios dan mendapati dua kios di antaranya menjual produk jamu yang belum dilengkapi NIE dari BPOM.

Dua kios tersebut kebetulan memungkinkan para pembeli memilih barang secara mandiri atau menerapkan sistem swalayan.

Sedangkan lima kios lainnya tidak demikian. Pembeli lebih mungkin mesti bertanya dulu ke pedagang untuk bisa melihat produk.

Baca juga: Disentil Jokowi soal Gaya Hidup Hedon, Berapa Gaji Jenderal Polisi?

Ketika ditanya, semua pedagang di lima kios menjamin semua produk jamu yang mereka jual sudah memiliki nomor izin edar.

Di dua kios, produk jamu TIE ditemukan Kompas.com di antara produk jamu lain yang telah memiliki NIE. Jamu berada di posisi cukup belakang sehingga tidak bisa terlihat langsung dari depan kios.

Di satu kios, Kompas.com mendapati empat item produk jamu yang di kemasannya tak tercantum NIE. Sedangkan di satu kios lainnya, ada dua item produk jamu TIE yang ditemukan.

Jumlah jamu TIE yang dipajang di rak ada sekitar 5-10 bungkus untuk masing-masing item. Satu bungkus berisi 10 saset.

Ketika tahu ada produk jamu TIE di antara barang yang dibeli Kompas.com, kedua pedagang tampak menaruh curiga. Keduanya sama-sama menanyakan asal usul saat melakukan transaksi.

Ketika Kompas.com memperkenalkan diri sebagai jurnalis, kedua pedagang mengeklaim hanya menjual jamu TIE dalam jumlah sedikit dan yakin produk itu aman dikonsumsi meski belum didaftarkan izin edar ke BPOM.

“Karena (jamu TIE) ini buatan sekitaran sini saja, saya yakin aman. Jamu enggak dicampur obat macem-macem,” tutur salah satu pedagang yang bersedia diwawancara dengan syarat anonim.

Baca juga: Intip Gaji Polisi Pangkat Bintara, dari Bripda hingga Aiptu

Dia mengaku tahu bahwa pedagang tidak boleh menjual produk obat tradisional tanpa izin edar, terlebih dipastikan mengandung BKO.

Pedagang itu nekat menjual jamu TIE hanya karena ingin menambah variasi barang jualan. Di mana, kata pedagang itu, hampir semua pedagang di Pasar Nguter sekarang menjual produk jamu dengan merek yang sama.

Dia merasa kondisi ini kurang menguntungkan bagi para pedagang seperti dirinya yang menempati kios di bagian dalam pasar. Pedagang itu menjadikan jamu TIE yang murah sebagai daya tarik tersendiri.

“Biasanya kan ada orang yang cari jamu yang lebih murah. Saya jadi bisa sediakan,” ucap dia, merujuk pada jamu TIE yang dijual.

Harga produk jamu TIE yang dijual pedagang memang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk jamu yang sudah berizin.

Sebagai contoh, meski sama-sama berisi 10 saset, produk jamu Pegal Linu tanpa izin edar hanya dijual Rp 2.000 per bungkus, sementara jamu dengan nomor izin edar Rp 8.000 per bungkus.

Satu pedagang lain yang bersedia juga diwawancara dengan syarat anomin, mengaku tak sembarangan ketika menjual jamu TIE.

Baca juga: Keruwetan Kereta Cepat dan Sikap Keberatan Jonan saat Jadi Menhub

Dia berucap hanya berani menjual produk jamu TIE yang sekiranya aman. Indikator utamanya, yaitu jamu diproduksi di dalam negeri.

“Biasanya yang bermasalah itu jamu impor. Jamunya dicampur bahan obat. Kalau jamu buatan dalam negeri apalagi dari seputaran sini, saya yakin aman, masih tradisional,” dalihnya.

Masyarakat semakin cerdas

Sementara itu, pemilik merek jamu asli Sukoharjo Sabdo Palon, Rini, menjelaskan prosedur pengurusan izin edar obat tradisional ke BPOM memang tidak mudah. Namun, kata dia, hal itu perlu diperjuangkan oleh pelaku usaha jika ingin bertahan di industri jamu.

“Memang untuk bikin izin jamu ini repot. Tapi, pembeli sekarang juga pintar-pintar, kalau mau minum jamu melihat dulu ada POM-TR-nya enggak, ada expired date-nya enggak. Jadi kami sebagai produsen harus menyediakan itu (produk berizin),” ujar Rini.

Setelah didirikan pada 1978, Sabdo Palon kini sudah mempunyai lebih dari 100 produk jamu yang diedarkan ke pasaran. Rini menjamin semua produknya itu sudah didaftarkan izin edar ke BPOM.

Rini membenarkan untuk memperoleh izin edar, pelaku usaha jamu perlu menyiapkan modal yang relatif tidak sedikit.

Secara umum, dia menjelaskan, dana awal di antaranya diperlukan untuk menyediakan alat, bahan, dan tempat produksi sesuai standar, uji laboratorium, hingga membayar tenaga ahli.

Meski begitu, Rini berpendapat, hal tersebut sudah menjadi risiko yang harus ditanggung masyarakat jika ingin berkecimpung di usaha produksi jamu.

Baca juga: Kilas Balik Kereta Cepat, Bolak-balik Ditolak Jonan saat Jadi Menhub

“Karena keinginan pasar sekarang jamu punya izin edar, seberapa berat pun syaratnya ya harus dilakoni. Kalau enggak begitu, kami bisa ditinggal oleh pembeli, malah repot. Jadi, kalau izinnya sudah habis, ya kami terus perpanjangan,” jelas dia.

Rini mengetahui ada beberapa pedagang di Pasar Nguter yang mengalami kesulitan dalam mengurus izin edar jamu racikan sendiri. Menurut dia, para pedagang sudah mencoba saling membantu semaksimal mungkin untuk bisa sama-sama berkembang.

Terkait persoalan ini, dia pun berharap ada intervensi lebih dari pemerintah untuk dapat memberikan bantuan kepada pelaku usaha jamu sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Rini menyampaikan, masalah juga masih dialami oleh pedagang yang bahkan telah memiliki izin edar untuk produk-produknya.

Dia memberi tahu, para pelaku usaha jamu secara umum sekarang sedang menghadapi tantangan berupa turunnya daya beli masyarakat.

Rini menduga hal itu terjadi salah satunya karena semakin banyak masyarakat yang kini lebih memilih untuk mengonsumsi obat atau vitamin kimia daripada jamu dari bahan alami.

“Dalam tiga tahun ini daya beli jamu agak turun. Hal itu mungkin terjadi karena semakin banyak orang ingin praktis. Misalnya, ada yang mengeluh “oh sirahku mumet”, biar ndang mari (lekas sembuh), dia lebih pilih minum obat kimia ke apotek. Padahal kami juga punya jamu sakit kepala,” jelas Rini.

Baca juga: Sederet Alasan Jonan Menolak Proyek Kereta Cepat Saat Jadi Menhub

Dia menyampaikan, banyak orang mungkin melihat jamu laris saat Pandemi Covid-19. Rini membenarkan hal itu. Tapi, menurutnya, itu hanya berlaku untuk beberapa item produk saja.

“Kalau pemerintah sekarang bilang Sukoharjo Kota Jamu, sebenarnya ini penjualan sedang turun. Waktu pandemi, jamu memang ramai diburu. Tapi yang laku kan cuma seputar jahe dan kencur. Padahal saya punya 100 lebih item produk, yang laku paling 10 item. Sedangkan 90 item lainnya jeblok,” keluh Rini.

Dia pun berharap Pemkab bisa membantu menggencarkan promosi minum jamu lagi kepada masyarakat. Rini mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mengajukan jamu ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 7 April 2022.

Kemudahan perizinan

Sementara itu, saat dimintai tanggapan terkait keluhan pelaku usaha jamu kecil kesulitan memperoleh izin edar, Fajar menyebut BPOM pada dasarnya kini telah memberikan sejumlah kemudahan.

Dia menerangkan, sejalan dengan adanya reformasi kemudahan berusaha yang diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, termasuk peraturan turunannya, BPOM sudah melakukan penyesuaian regulasi yang berkaitan dengan standar dan persyaratan terkait perizinan berusaha.

Salah satunya melalui Peraturan BPOM No. 14 Tahun 2021 tentang Sertifikasi CPOTB.

Baca juga: Saat Jadi Menhub, Jonan Keberatan Proyek Kereta Cepat, Apa Sebabnya?

Peraturan ini mencabut Peraturan Kepala Badan POM No. 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Sertifikasi CPOTB dan telah mengakomodir kebijakan BPOM terkait kemudahaan berusaha bagi industri dan usaha di bidang obat tradisional.

Dalam peraturan tersebut, di antaranya diatur ketentuan tentang sertifikasi pemenuhan aspek CPOTB Secara Bertahap yang mengakomodir keterbatasan pelaku usaha mikro obat tradisional (UMOT) dan usaha kecil obat tradisional (UKOT) dalam memenuhi ketentuan pemenuhan aspek CPOTB secara penuh.

“CPOTB secara bertahap ini adalah salah satu bentuk dukungan kami terhadap pelaku UMKM jamu. Sederhananya, kalau dulu pelaku usaha jamu harus memenuhi syarat full aspects lebih dulu sebelum boleh memproduksi jamu, sekarang bertahap. Ada tahap 1, tahap 2, dan tahap 3. Jadi, pelaku usaha jamu ini ketika sudah memenuhi beberapa aspek saja, mereka sudah bisa memproduksi jamu,” jelas Fajar.

Bagi Badan POM sendiri, kata dia, adanya Peraturan itu bisa menjadikan pengawasan obat dan makanan menjadi lebih efektif, efisien, dan akuntabel guna memastikan produk yang beredar memenuhi standar CPOTB sesuai dengan bentuk sediaannya.

Untuk lebih lengkapnya, beberapa substansi penting dalam Peraturan BPOM No. 14 Tahun 2021 yang mendukung reformasi kemudahan berusaha, di antaranya yakni:

  • Perubahan cara pengajuan sertifikasi dari manual menjadi elektronik (e-sertifikasi)
  • Penghapusan persyaratan persetujuan denah oleh BPOM
  • Pemangkasan timeline pelayanan
  • Penambahan ketentuan perpanjangan CPOTB dan perubahan fasilitas CPOTB yang tidak memerlukan inspeksi
  • Keringanan Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp0 untuk Sertifikasi Pemenuhan Aspek CPOTB Secara Bertahap bagi UKOT dan UMOT

Baca juga: Kilas Balik Kereta Cepat: Ditolak Jonan, Kini Mau Pakai Duit APBN

Fajar memastikan, Loka POM di Kota Surakarta telah menyosiasisasikan Peraturan BPOM No. 14 tahun 2021 kepada sejumlah pihak.

Ini termasuk para pelaku usaha dan berbagai instansi pemerintah di daerah, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, DPMPTSP di wilayah kerja UPT Loka POM di Kota Surakarta.

Khusus bagi pelaku usaha di “Kota Jamu” Sukoharjo yang ingin berkonsultasi lebih dalam terkait prosedur mendapatkan legalitas jamu, Fajar menyatakan, Loka POM di Kota Surakarta kini telah memberikan kemudahan lain berupa penyediaan layanan di Mal Pelayanan Publik (MPP) “Sevaka Bhakti Wijaya”.

Dia mempersilakan para pelaku usaha memanfaatkan layanan yang diadakan Loka POM di Kota Surakarta atas hasil kerja sama dengan Pemkab Sukoharjo itu.

Sementara itu, saat disinggung soal adanya anggapan dari pelaku usaha jamu bahwa biaya untuk mengurus izin edar tergolong mahal dan sulit dijangkau, Fajar menilai, hal itu relatif.

“Kalau dibilang biayanya mahal, sebenarnya untuk dapat nomor izin edar obat tradisional, biaya pra registrasinya sesuai PP No. 32 Tahun 2017 (tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pengawas Obat dan Makanan) relatif terjangkau, yakni Rp100.000. Tapi untuk memperoleh setifikasi CPOTB, itu kan memang perlu penyediaan tempat produksi standar, uji lab, dan lain sebagainya. Nah itu yang butuh modal tadi,” jelas dia.

Baca juga: Jadwal KRL Solo Jogja di Semua Stasiun Per November 2022

Saat dimintai tanggapan terkait kesulitan pelaku usaha menggandeng tenaga teknis kefarmasian (TTK) atau apoteker sebagai penanggung jawab teknis (PJT), Fajar mengaku pernah juga mendengar keluhan tersebut. Namun, untuk memulai perizinan obat tradisional di BPOM, dia menjelaskan, dapat dilakukan secara paralel dengan pemenuhan syarat personel PJT.

Dalam memproduksi obat tradisional, ada unsur-unsur risiko kesehatan yang harus diminimalisir. Itu mengapa, kata dia, PJT harus paham betul terkait CBOTB.

“Ini (keberadaan PJT) yang membedakan fasilitas produksi jamu legal dan non-legal. Yang non-legal, biasanya gawe gawe ae, sering tak memperhitungkan aspek keamanan,” tutur dia.

Terkait kesulitan yang dialami pelaku usaha untuk menggaet TTK ini, dia memberi saran, kedua belah pihak secara garis besar bisa sedari awal membuat kesepakatan yang dirasa sama-sama menguntungkan.

Fajar memahami bahwa kemungkinan penyebab pelaku usaha kesulitan menggandeng TTK atau apoteker karena dari mereka sendiri yang tak siap memberikan tawaran kesejahteraan.

Padahal lulusan tenaga ahli ini terbilang cukup melimpah di Soloraya. Banyak kampus yang membuka jurusan farmasi dan bahkan jurusan jamu.

Baca juga: Berapa Gaji UMR Bekasi 2021?

“Beberapa solusi bisa ditawarkan, misalnya di awal disepakati antara pelaku usaha dan calon PJT sebelum usahanya berkembang, ada sistem bagi hasil atau seperti apa. Kerja sama bisa bermacam-macam. Pelaku usaha dan calon PJT bisa menyepakati mana yang terbaik,” jelas dia.

Komitmen Pemkab

Saat dimintai tanggapan, Kepala Dinas Kesehatan Sukoharjo, Tri Tuti Rahayu, mengaku siap untuk terus membina para pelaku usaha jamu di Sukoharjo hingga jangan sampai ada lagi yang memproduksi maupun menjual obat tradisional ilegal.

Terkait kendala pelaku usaha jamu di Sukoharjo kesulitan memperoleh izin edar, dia menyampaikan komitmen Pemkab siap untuk mencoba membangun koordinasi lagi dengan mereka.

Tuti mengatakan, beberapa pihak juga bisa dilibatkan dalam pembicaraan ini, seperti dari Kojai, BPOM, institusi Pendidikan, hingga Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Cabang Sukoharjo, untuk menemukan solusi terbaik.

Dia menegaskan bahwa Pemkab sangat serius dalam mengembangkan Sukoharjo sebagai “Kota Jamu”.

Bupati Sukoharjo Etik Suryani sendiri telah meluncurkan Gerakan Minum Jamu pada April 2021.

Dengan peluncuran program tersebut, semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Sukoharjo jadi diwajibkan untuk melaksanakan rutinitas minum jamu setiap Jumat.

Selain OPD, budaya minum jamu juga diberlakukan untuk BUMD dan juga swasta. Menurut Tuti, program itu diinisiasi oleh Bupati dalam upaya memberdayakan UMKM jamu.

Baca juga: Mengapa Israel Begitu Kaya Raya?

Tumbuhnya industri jamu di Sukoharjo sendiri berawal dari potensi industri jamu dari hulu ke hilir, mulai dari kebun tanaman obat herbal, UMKM jamu, jamu gendong, hingga industri obat tradisional.

Sejak dahulu, warga Nguter, umumnya para perempuan, telah terbiasa meracik aneka dedaunan dan rempah-rempah menjadi minuman jamu.

Lama kelamaan, racikan jamu dari tangan ibu-ibu Nguter ini mulai dikenal oleh warga Sukoharjo, bahkan luar daerah sekitarnya.

Jamu yang dihasilkan ada kunir asam, beras kencur, temulawak, jamu pahitan, jamu pegel linu, dan lain sebagainya.

Jamu-jamu ini dikemas di dalam botol, lalu dimasukkan ke dalam bakul dan digendong di belakang ketika dijual. Cara menjual jamu seperti inilah yang akhirnya dikenal dengan jamu gendong.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, sejumlah penjual jamu gendong ini beralih menggunakan sepeda onthel hingga motor untuk menjajakan jamu-jamu mereka.

Tak hanya di Sukoharjo dan daerah sekitar, banyak warga Nguter yang merantau pun turut memopulerkan jamu tradisional di daerah tujuan.

Berjalannya waktu, racikan jamu Sukoharjo kemudian ada yang diproduksi dan dikemas secara pabrikan hingga dijual ke luar Pulau Jawa.

Berdasarkan catatan Pemkab, jumlah UMKM jamu di Sukoharjo sempat mencapai angka 2.513 pada 2021. Usaha jamu yang dilakukan antara lain penjual jamu gendong, penjual jamu keliling, warung jamu racikan, pengilingan jamu, pedagang jamu racikan, pengusaha jamu instan.

Subkoordinator Seksi Farmamin, Alkes, dan Perbekes Dinas Kesehatan Sukoharjo, Suyanto, menambahkan bahwa dalam menjamin peredaran jamu di Sukoharjo aman dan legal, Pemkab juga siap menggiatkan pengawasan di lapangan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai keamanan sediaan farmasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kinerjanya Banyak Dikeluhkan di Medsos, Berapa Gaji PNS Bea Cukai?

Kinerjanya Banyak Dikeluhkan di Medsos, Berapa Gaji PNS Bea Cukai?

Work Smart
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com