Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkara Minum Jamu

Kompas.com - 16/11/2022, 10:55 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Muhammad Idris

Tim Redaksi

SUKOHARJO, KOMPAS.com – Jumlah temuan obat tradisional berisiko berbahaya di wilayah Soloraya, Jawa Tengah (Jateng) makin ke sini bukannya turun, tapi malah naik.

Dalam tiga tahun terakhir, temuan obat tradisional tanpa izin edar (TIE) dan atau mengandung bahan kimia obat (BKO) oleh Loka POM di Kota Surakarta nyatanya paling banyak terjadi pada 2022.

Selama periode Januari 2020 hingga 17 Oktober 2022, Loka POM di Kota Surakarta menemukan total ada 37.926 pcs obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO ketika melakukan pengawasan.

Dari jumlah tersebut, 80,4 persen di antaranya ditemukan pada tahun ini.

Di mana, Loka BPOM di Kota Surakarta hingga 17 Oktober 2022 telah menemukan 428 pcs obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO dari 38 item produk yang ditindaklanjuti dengan dimusnahkan, dan 30.521 pcs obat tradisional dari 9.725 item produk dibawa ke ranah hukum

Nilai ekonomi temuan pada tahun ini mencapai Rp 736,42 juta.

Baca juga: Setiap Tanggal Berapa Petugas PLN Mencatat Meteran?

Kepala Loka POM di Kota Surakarta, Muhammad Fajar Arifin, menyebut temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO pada tahun ini terbilang besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tabel temuan obat tradisional tanpa izin edar dan atau mengandung bahan kimia obat (BKO) oleh Loka POM di Surakara periode Januari 2020-17 Oktober 2022.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Tabel temuan obat tradisional tanpa izin edar dan atau mengandung bahan kimia obat (BKO) oleh Loka POM di Surakara periode Januari 2020-17 Oktober 2022.

Temuan pada 2022 termasuk terjadi di Kabupaten Sukoharjo yang telah dideklarasikan sebagai “Kota Jamu” sejak April 2015.

“Kalau untuk temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO, pada awal tahun ini juga ada temuan di Sukoharjo yang sudah masuk ke dalam proses pro-justitia,” jelas dia, saat diwancarai Kompas.com melalui Zoom, Rabu (12/10/2022).

Loka POM di Kota Surakarta adalah kepanjangan tangan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan di lima daerah di Soloraya.

Kelima daerah itu, yakni Kota Solo, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, dan Sragen. Hanya Kabupaten Klaten dan Boyolali di wilayah Soloraya yang tak termasuk wilayah kerja UPT Loka POM di Surakarta.

Baca juga: Sosok Kim Min-Seok, Sukses Jadi Konglomerat Berkat Lagu Baby Shark

Fajar menerangkan pengawasan obat tradisional yang dilakukan oleh BPOM terdiri dari pengawasan pre-market dan post-market.

Pengawasan obat tradisional pre-market dilakukan petugas untuk memastikan keamanan produk terjamin sebelum beredar.

Pengawasan ini dilakukan mulai dari memastikan persyaratan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), hingga persyaratan administrasi atau teknis pada saat pendaftaran.

Sertifikasi CPOTB adalah salah satu tahapan perizinan dalam rangka suatu produk obat tradisional nantinya memperoleh nomor izin edar.

“Makanya sebelum obat tradisional beredar, harus ada dokumen-dukumen yang perlu dipenuhi (produsen), termasuk uji-uji lab untuk memastikan produk aman bagi masyarakat,” ucap dia.

Sementara itu, pengawasan obat tradisional post-market dimaksudkan untuk menjamin keamanan produk setelah beredar.

Pengawasan sesudah produk beredar ini dilakukan dengan sampling produk secara berkala maupun inspeksi pada sarana produksi maupun tempat penjualan untuk memantau apakah obat tradisional masih memenuhi ketentuan.

Dengan demikian, produk obat tradisional diharapkan terus dibuat sesuai ketentuan yang berlaku, yaitu aman, berkhasiat, dan bermutu.

Dia menegaskan, dalam melakukan pengawasan obat tradisional, BPOM jelas tak bisa berjalan sendirian.

Bicara tentang sitem pengawasan obat dan makanan, Fajar menerangkan, bahwa pada dasarnya ada tiga pilar yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan, yaitu pemerintah, produsen atau pelaku usaha, dan konsumen atau masyarakat.

Pemerintah di sini memiliki tanggung jawab dalam melakukan pengawasan sebelum dan sesudah produk diedarkan.

Baca juga: Setiap Tanggal Berapa KJP Cair?

Sementara, produsen harus menjamin khasiat dan mutu dari produk yang dihasilkannya. Sedangkan, konsumen harus cerdas dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya.

Di tingkat pemerintah, dia menyebut, Loka POM di Kota Surakarta salah satunya telah melakukan kegiatan focus group discussion (FGD) dengan Polres, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Sartu Pintu (DPMPTSP), Dinas Kesehatan (Dinkes) di wilayah kerja untuk memutus rantai peredaran obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO.

Fajar menuturkan, Loka POM di Kota Surakarta juga telah seringkali melakukan kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dengan menyasar pelaku usaha jamu dan masyarakat untuk mendorong produksi dan konsumsi jamu yang pasti aman dan legal.

“Kesadaran masyarakat dengan adanya KIE kini menjadi semakin tinggi. Produsen juga sudah mulai paham. Tapi, tetap ada oknum-oknum yang nakal. Jadi tetap ada yang sengaja memproduksi jamu TIE atau menambahkan BKO demi keuntungan pribadi. Pelaku ini yang terus akan kami kejar,” jelas dia.

Fajar pun mengungkapkan tingginya temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO pada tahun ini juga berkat adanya partisipasi aktif dari masyarakat untuk melapor ke BPOM.

Baca juga: Pembayaran Listrik Setiap Tanggal Berapa?

“Terkait penindakan terhadap kejahatan obat dan makanan, (jumlah temuan produk ilegal) itu tidak bisa diprediksi. Loka POM Surakarta yang pasti terus rutin melakukan pengawasan dan akan segera menindaklanjuti jika mendapat informasi,” tutur dia.

Fajar bercerita, berdasarkan hasil penyelidikan tim dari Loka POM di Kota Surakarta, jamu ilegal yang ditemukan di “Kota Jamu” selama ini bukan hanya berasal dari Sukoharjo, tapi dari wilayah lain juga.

“Jadi, jamu yang beredar di Sukoharjo ada banyak juga yang datang dari luar daerah. Bahkan ada yang dari luar (Pulau) Jawa. Setelah masuk Sukoharjo, jamu-jamu itu baru dibeli oleh masyarakat se-Indonesia. Semua produk kami pantau keamanan dan legalitasnya,” ujar dia.

Fajar menjelaskan, agenda pengawasan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO di Sukoharjo selama ini bukan hanya menyasar Pasar Nguter sebagai sentra penjuaan jamu, tapi banyak tempat lain.

Beberapa tempat yang ikut dipantau, seperti apotek, toko-toko kelontong, pasar tradisional lain, hingga rumah penduduk yang dicurigai.

Bahaya BKO

Fajar menegaskan bahwa penting bagi setiap obat tradisional untuk didaftarkan kepada BPOM supaya dipastikan memenuhi standar keamanan, manfaat atau khasiat, dan mutu.

Sayangnya, sampai saat ini BPOM masih menemukan beberapa produk obat tradisional yang di dalamnya dicampuri BKO.

Info grafik tentang efek samping obat tradisional mengandung bahan kimia obat (BKO) berdasarkan wawancara dengan Loka POM di Kota Surakarta.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Info grafik tentang efek samping obat tradisional mengandung bahan kimia obat (BKO) berdasarkan wawancara dengan Loka POM di Kota Surakarta.

Fajar membeberkan, BKO yang sering ditemukan ditambahkan ke obat tradisional dengan kadar tidak jelas di antaranya yakni:

  • Paracetamol
  • Sildenafil Sitrat
  • Deksametason
  • Fenilbutazon
  • Metformin
  • Glibenklamid
  • Siproheptadin

Kandungan BKO pada jamu ini padahal sangat berisiko bagi kesehatan jika sampai dikonsumsi, terlebih bagi penderita penyakit tertentu atau bagi orang yang sedang minum obat lain.

Baca juga: Setiap Tanggal Berapa Potongan ATM BRI?

Secara umum penambahan BKO pada obat tradisional dapat menimbulkan efek samping berupa:

  • Kehilangan pendengaran
  • Kehilangan penglihatan
  • Stroke
  • Gagal ginjal
  • Kerusakan hati
  • Iritasi lambung
  • Nyeri dada
  • Serangan jantung
  • Kematian

“Misalnya saja, BKO Deksametason, Fenilbutazon, dan Parasetamol yang kerap ditemukan pada produk jamu untuk mengatasi pegal linu. Penggunaan BKO ini padahal bisa menimbulkan gangguan pertumbuhan, osteoporosis, gangguan hormon, hepatitis, gagal ginjal, dan kerusakan hati,” jelas dia.

Fajar menjelaskan bahwa obat adalah zat yang memang dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi, itu harus dengan aturan pemakaian.

Oleh karenanya, obat tidak bisa digunakan sembarangan karena kandungan zat kimia bisa membahayakan tubuh, apalagi jika dikonsumsi berlebihan.

Dia pun mengimbau kepada para pelaku usaha untuk dapat bertindak jujur dengan menghasilkan produk obat tradisional secara aman dan legal.

Baca juga: Pada Setiap Tanggal Berapakah Diperingati Hari Air Sedunia?

BPOM berharap pelaku usaha dapat menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Fajar memperingatkan, ada konsekuensi hukum yang bisa diterima pelaku usaha jika nekat memproduksi obat tradisional tak sesuai aturan, seperti tak mengurus izin edar dan menambahkan BKO. Begitu juga dengan pedagang yang menjualnya.

Dia menjelaskan, hanya usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong (UJG) sebagai usaha obat tradisional yang tak perlu memiliki izin edar dari BPOM.

Usaha jamu racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya yang melakukan pencampuran sediaan jadi dan atau sediaan segar obat tradisional untuk dijajakan langsung kepada konsumen.

Sedangkan, usaha jamu gendong adalah usaha yang menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen. Meski begitu, BPOM tetap melakukan pendampingan terhadap mereka.

Baca juga: Pembayaran IndiHome Setiap Tanggal Berapa?

Misalnya terhadap pelaku usaha jamu gendong di Sukoharjo, BPOM beberapa kali pernah memberikan bimbingan teknis soal produksi jamu yang aman, bermanfaat, dan bermutu.

Sejumlah materi yang diberikan, antara lain mengenai higiene sanitasi dalam pembuatan jamu, dokumentasi dan penanganan bahan baku untuk peningkatan mutu jamu, hingga termasuk sistem pengawasan penggunaan obat tradisional.

Infografik tentang riwayat singkat Sukoharjo ditetapkan sebagai Kota Jamu pada 2015 oleh pemerintah pusat.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Infografik tentang riwayat singkat Sukoharjo ditetapkan sebagai Kota Jamu pada 2015 oleh pemerintah pusat.

“Terkait keamanan, kami sudah edukasi juga para pelaku usaha jamu racikan dan jamu gendong ini untuk tidak mencampurkan BKO ke produk yang disajikan ke pembeli,” jelas dia.

Fajar mengeklaim, para pelaku usaha jamu ini juga telah diberikan edukasi untuk tidak menambahkan zat kimia berbahaya lain yang ditujukan sebagai pemanis, pewarna, atau pengawet.

Kepala Program Studi (Prodi) Profesi Apoteker Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Dinar Sari Cahyaningrum, juga mewanti-wanti kepada para pelaku usaha jamu untuk tidak menambahkan BKO ke dalam produk yang dijajakan kepada masyarakat.

Baca juga: Berapa Harga Sepatu Jordan ORI di Indonesia Terbaru?

Pasalnya, jamu yang mengandung BKO bisa sangat membahayakan kesehatan konsumen. Dalam penggunaan jangka panjang, jamu mengandung BKO ini bahkan bisa menyebabkan kematian.

Dia mencontohkan, penambahan BKO Sildenafil Sitrat yang biasanya ditemukan pada obat tradisional dengan klaim penambah stamina pria.

Konsumsi BKO ini, terang Dinar, antara lain bisa menimbulkan berbagai efek samping mulai dari kehilangan penglihatan, kehilangan pendengaran, nyeri dada, pusing, pembengkakan (mulut, bibir, dan wajah), stroke, serangan jantung, bahkan kematian.

Sementara itu, saat dimintai informasi, Subkoordinator Seksi Farmamin, Alkes, dan Perbekes Dinas Kesehatan Sukoharjo, Suyanto, menyebut Pemkab Sukoharjo hingga kini belum pernah menerima laporan kematian akibat mengonsumsi jamu dengan BKO.

Meski demikian, kata dia, konsumsi jamu mengandung BKO telah diyakini oleh para ahli dapat membahayakan jiwa seseorang, terlebih jika dilakukan secara rutin atau berlebihan.

Oleh sebab itu, pelaku usaha jamu sangat dilarang untuk memproduksi atau menjual produk obat tradisional dengan tambahan BKO.

Baca juga: Sisi Kelam Ukraina: Bisnis Surogasi Rahim atau Pabrik Bayi

“Efek samping dari konsumsi jamu dengan BKO itu kan pada umumnya bersifat jangka panjang. Misalnya, mungkin ada kasus di masyarakat, tiba-tiba kok didiagnosis gagal ginjal," jelas Yanto.

"Nah, itu bisa terjadi karena mungkin seseorang punya riwayat konsumsi jamu BKO jangka panjang. Tapi, laporan detail yang sampai menyebut kasus semacam itu disebabkan oleh jamu BKO memang belum ada yang sampai kepada kami,” tambah dia.

Imbauan ke masyarakat

Sementara itu, yang dapat dilakukan masyarakat secara cepat sebagai tindakan kewaspadaan terhadap jamu tidak bermutu dan mungkin tidak aman, yakni sebaiknya menghindari produk yang diklaim dapat menyembuhkan bermacam penyakit.

Kepala Loka POM di Kota Surakarta juga menyarankan masyarakat untuk menghindari produk yang memberikan efek cespleng atau menyembuhkan langsung (sesaat) setelah dikonsumsi. Sebab, hal ini jarang terjadi pada penggunaan obat bahan alam.

Untuk mengetahui informasi mengenai produk obat tradisional yang telah ditarik atau dibatalkan dari peredaran berdasarkan hasil pengawasan dan pengujian BPOM karena mengandung BKO, Fajar memberi tahu, masyarakat kini bisa mengakses aplikasi BPOM e-PUBLIC WARNING yang dapat diunduh di Playstore atau Applestore.

Baca juga: Khrushchyovka, Cara Uni Soviet Sediakan Rumah Murah bagi Warganya

Layanan ini juga bisa diakses lewat situs website dengan alamat https://e-publicwarningotsk.pom.go.id/.

e-Public Warning obat tradisional dan suplemen kesehatan berisi pula informasi dari badan otoritas pengawasan di negara lain terkait produk yang ditarik dari peredaran karena alasan keamanan.

Selain e-Public Warning, BPOM juga memiliki aplikasi “BPOM Mobile” yang dapat dipakai untuk mengecek Nomor Izin Edar. Aplikasi ini juga dapat diunduh melalui Playstore dan Applestore.

Loka POM di Kota Surakarta mengimbau kepada masyarakat untuk lebih waspada serta tidak menggunakan produk-produk obat tradisional yang mencurigakan, terlebih yang telah diketahui ilegal.

Fajar mempersilakan masyarakat untuk melapor ke BPOM bilamana menemukan obat tradisional ilegal yang masih beredar di pasaran.

“Artinya, yang kami harapkan adalah kalau konsusen saja sudah pintar, walaupun ada produsen bikin produk jamu ilegal, itu tak akan laku dan dengan sendirinya akan hilang,” ucapnya.

Perhatian kemasan

Kepala Prodi Profesi Apoteker FMIPA UNS Solo, Dinar Sari Cahyaningrum, turut menyarankan masyarakat dapat memanfaatkan aplikasi milik BPOM untuk memastikan produk jamu di pasaran benar-benar legal dan aman dikonsumsi.

Dia mengajak masyarakat sebaiknya tak boleh hanya mengandalkan cek keberadaan nomor izin edar dari BPOM di kemasan jamu untuk menentukan jamu mana yang lebih baik dibeli.

Sebab, kata Dinar, bukan tidak mungkin produk jamu yang telah disertai dengan NIE, ternyata itu palsu guna mengelabui calon pembeli. Dia melihat BPOM pernah mendapati kasus seperti ini.

Beberapa jamu serbuk racikan yang telah memiliki nomor izin edar dari BPOM yang dijual di Pasar Jamu Nguter Sukoharjo. Foto diambil pada Senin (11/10/2022).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Beberapa jamu serbuk racikan yang telah memiliki nomor izin edar dari BPOM yang dijual di Pasar Jamu Nguter Sukoharjo. Foto diambil pada Senin (11/10/2022).

Jadi, dia berpesan, masyarakat mesti selalu bersikap kritis dalam memilih produk makanan maupun obat-obatan yang hendak digunakan.

Dalam mengidentifikasi sebuah produk jamu legal atau tidak, masyarakat juga bisa melihat informasi yang disajikan di label khasiat.

Jamu yang belum didaftarkan izin edar dari BPOM seringkali disertai dengan klaim khasiat yang bombastis atau memakai kalimat spesifik.

Baca juga: PG Colomadu, Simbol Kekayaan Raja Jawa-Pengusaha Pribumi era Kolonial

Sebagai contoh, khasiat jamu ditulis "sangat berkhasiat menyembuhkan pegal linu”, “dijamin bisa mengurangi lemak di tubuh”, “terbukti bisa menambah keperkasaan pria”, “mengobati sakit kepala”, dan lain sebagainya.

Padahal semestinya jenis klaim penggunaan obat tradisional harus diawali dengan kata- kata, “Membantu…”, ”Secara tradisional digunakan untuk…”, atau hanya ditulis umum “Memelihara kesehatan pria…”.

Dinar menegaskan klaim khasiat pada jamu juga tidak boleh menggunakan istilah farmakologi medis, seperti jamu untuk hipertensi, jamu untuk diabetes, jamu untuk impotensi, dan lain sebagainya.

“Jika memungkinkan, kita sebaiknya cek langsung saja legalitas produk jamu lewat aplikasi BPOM. Jika terdaftar (legal), produk itu artinya secara teori sudah teruji aman, berkhasiat, dan bermutu oleh BPOM,” jelas dia.

Dinar menerangkan, secara umum produk obat tradisional yang telah mendapatkan izin edar dari BPOM memiliki ciri-ciri berikut:

  • Tertera nama produk dengan jelas
  • Tertera informasi berat bersih atau isi bersih
  • Tertera informasi nama dan alamat produsen atau importir
  • Tertera nomor izin edar
  • Tertera informasi komposisi
  • Tertera kode produksi
  • Tertera tanggal kadaluarsa
  • Tertera informasi aturan pakai
  • Tertera informasi kegunaan dan cara penggunaan
  • Tertera peringatan dan perhatian

Sebelum membeli jamu, masyarakat juga disarankan untuk lebih dahulu mengecek kondisi kemasan.

Baca juga: Berapa Jumlah BUMN di China dan Mengapa Mereka Begitu Perkasa?

Sesuai saran BPOM, obat tradisional yang layak beli dan dikonsumsi antara lain memenuhi syarat berikut:

  • Kemasan dalam keadaan baik atau bersih
  • Kemasan tidak bocor
  • Kemasan tidak menggelembung atau penyok
  • Kemasan tidak berambar organ tubuh atau foto-foto vulgar

Dinar menyebut, untuk menghindari kontaminasi, jamu serbuk instan mesti dikemas sesuai dengan standar BPOM. Sementara jamu siap minum yang dijajakan penjual jamu gendong sebaiknya disimpan dalam botol kaca, bukan botol plastik.

Jika dikemas dengan botol plastik, laruran jamu berisiko meninggalkan noda dan sisa. Seiring waktu, sisa-sisa jamu tersebut dapat menumpuk di botol hingga menyebabkan bakteri.

Di samping itu, kata dia, tidak semua botol plastik aman ketika dimasukkan larutan jamu yang panas. Dalam hal ini, dikhawatirkan masih ada penjual jamu gendong yang belum paham mengenai arti kode plastik di botol yang bisa menunjukkan itu aman atau tidak untuk menampung cairan dengan suhu tinggi.

Sementara itu, saat dimintai informasi terkait bahan yang baik untuk dipakai dalam mengemas serbuk jamu instan, Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Muda Loka POM di Kota Surakarta, Etik Romdiyah, menjelaskan pada dasarnya tidak ada daftar khusus yang disarankan kepada pelaku usaha dari BPOM.

Baca juga: Penasaran Berapa Harga Bensin di Arab Saudi yang Kaya Minyak?

“Kalau bahan kemasan, tidak ada daftar positif apa yg diperbolehkan. Hanya diatur secara umum kemasan harus tidak mengontaminasi produk makanya,” jelas dia.

Maka dari itu, Etik menyampaikan, saat proses registrasi izin edar produk obat tradisional, pelaku usaha diminta untuk menyerahkan data stabilitas yang sudah mencakup keamanan kemasan.

“Menjadi tanggung jawab pelaku usaha untuk menyediakan kemasan produk yang aman. BPOM nanti mengevaluasi dari data stabilitas yang diserahkan saat proses registrasi izin edar,” jelas da.

Etik menerangkan, uji stabilitas dilakukan oleh pelaku usaha melalui serangkaian pengujian parameter mutu produk yg ditetapkan oleh pelaku usaha sendiri sesuai karakteristik produknya.

Nanti dilihat sampai berapa lama produk bisa tetap stabil mutunya. Dia menjelaskan, data Ini juga yang akan menjadi standar dalam penetapan batas kadaluwarsa produk tersebut.

“Pelaku usaha perlu menetapkan spesifikasi kemasan mulai dari material kemasan, dimensi ukuran, dan desainnya. Mereka lalu melakukan trial produksi dan pengujian data stabilitas, di mana produk disimpan pada suhu sesuai petunjuk penyimpanan produk pada kemasan," terang dia terkait prosedur uji stabilitas produk obat tradisional.

Baca juga: Biaya Admin BNI Taplus Muda, Bunga, dan Setoran Awalnya

Setelah itu, tiap-tiap interval tiga bulan dilalukan pengujian produk tersebut apakah masih memenuhi persyaratan atau tidak,” imbuhnya.

Dia memberi gambaran, misalkan pada bulan ke-12 masih bagus lalu pada bulan ke-15 diuji sudah rusak, produk berarti stabil sampai 12 bulan saja sehingga bisa ditetapkan kadaluwarsanya 1 tahun.

“Itulah sisi pentingnya perlu penanggung jawab apoteker atau TTK pada industri sediaan farmasi salah satunya produsen jamu,” tegas Etik.

Temuan jamu TIE

Ny. Moertedjo adalah Ketua Koperasi Jamu Indonesia (Kojai) Sukoharjo. Dia mengimbau pedagang jamu untuk tidak menjual lagi produk obat tradisional tanpa izin edar (KIE) dan atau mengandung bahan kimia obat (BKO). Foto diambil pada Selasa (11/10/2022).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Ny. Moertedjo adalah Ketua Koperasi Jamu Indonesia (Kojai) Sukoharjo. Dia mengimbau pedagang jamu untuk tidak menjual lagi produk obat tradisional tanpa izin edar (KIE) dan atau mengandung bahan kimia obat (BKO). Foto diambil pada Selasa (11/10/2022).
Raut wajah Suwarsi seketika berubah. Alisnya terangkat, matanya sedikit melotot. Dia lalu menarik napas panjang.

Perempuan lanjut usia (lansia) yang lebih akrab disapa Ny. Moertedjo itu tak bisa menutupi kekecewaannya.

Hal ini terjadi ketika Kompas.com mengemukakan temuan produk jamu TIE di Pasar Nguter kepada dirinya, Selasa (11/10/2022). Ny. Moertedjo adalah Ketua Koperasi Jamu Indonesia (Kojai) Sukoharjo.

Baca juga: Info Biaya Admin BCA, Bunga, Setoran Awal, dan Saldo Minimum

Sudah puluhan tahun dia menjadi pembina puluhan pedagang jamu di kabupaten yang telah secara resmi ditetapkan sebagai "Kota Jamu" pada 2015 dan dicanangkan sebagai destinasi wisata jamu pada Maret 2019 oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) RI itu.

Sehari sebelumnya, Senin (10/10/2022), Kompas.com mendapati masih ada pedagang yang menjual beberapa produk jamu yang sudah diberi merek tetapi tak dilengkapi nomor izin edar (NIE) dari BPOM.

Sesuai Permenkes No. 007 tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional, setiap obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia padahal wajib memiliki izin edar dari Kepala BPOM.

Produk jamu yang sudah terdaftar semestinya dilengkapi nomor registrasi di kemasan. Nomor registrasi untuk obat tradisional bisa dikenali dengan format POM TR/TI/TL/HT/FF + 9 digit angka.

TR menunjukkan produk obat tradisional lokal, TI untuk produk obat tradisional impor, TL untuk produk obat tradisional lisensi, HT untuk herbal terstandar, dan FF untuk fitofarmaka.

Dari enam item produk jamu TIE yang ditemukan Kompas.com di pasar jamu satu-satunya di Indonesia itu, semuanya tertulis berasal dari wilayah Soloraya. Ada yang dari Sukoharjo, ada yang dari Kota Solo.

Baca juga: Menhub Bilang, Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Pantang Pakai Duit APBN

Enam item produk tersebut memiliki nama, antara lain Sehat Perempuan, Pegal Linu, Sekalor Sakit Kepala, Sariawan Usus, Cuci darah, dan Terlambat Bulan Kates Merah. Dua item di antaranya tak disertai dengan informasi komposisi di kemasan.

Ny. Moertedjo kecewa karena merasa sudah seringkali berbicara kepada para pedagang di Pasar Nguter untuk tak lagi menjual produk jamu secara sembarangan.

“Saya sering bilang, di pertemuan rutin bulanan iya, lewat (surat) edaran juga pernah. Saya selalu minta ke teman-teman (pedagang) ora usah macem-macem lagi jual jamu gini,” ucap dia, sambil memegang jamu TIE yang ditemukan Kompas.com.

Terkait temuan ini, Ny. Moertedjo menyampaikan komitmen akan kembali atau terus memberi pengertian kepada para anggota Kojai Sukoharjo untuk menjual produk jamu yang aman dan legal saja.

Menurut dia, hal itu penting karena menyangkut keselamatan konsumen.

Saat dimintai tanggapan soal temuan Kompas.com akan produk TIE di Pasar Nguter, Kepala Loka POM di Kota Surakarta menyampaikan, petugas dapat menindaklanjutinya dengan agenda sidak. Waktunya ditentukan acak.

Baca juga: Cuma Didapat Yogyakarta, Apa Itu Dana Keistimewaan?

Seperti sebelum-sebelumnya, saat melakukan sidak, Fajar menyebut, petugas tak akan menyasar produk ilegal yang berasal dari Sukoharjo, melainkan seluruh produk tanpa terkecuali.

Sanksi tegas

Temuan jamu tanpa izin edar (TIE) dari BPOM yang diperoleh Kompas.com di Pasar Jamu Nguter, Sukoharjo, pada Senin (11/10/2022).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Temuan jamu tanpa izin edar (TIE) dari BPOM yang diperoleh Kompas.com di Pasar Jamu Nguter, Sukoharjo, pada Senin (11/10/2022).

Ny. Moertedjo menyampaikan pengurus Kojai telah memperingatkan kepada para anggota akan dikeluarkan dari koperasi jika sampai kedapatan masih berjualan jamu tanpa izin edar.

Sanksi tegas ini, kata dia, berlaku juga bagi pedagang yang apabila terbukti menjual produk jamu mengandung BKO.

BKO adalah zat-zat kimia yang digunakan sebagai bahan utama obat kimiawi yang biasanya ditambahkan dalam sediaan jamu untuk memperkuat indikasi dari obat tradisional tersebut.

Obat tradisional tak boleh ditambahkan BKO dengan kadar tidak jelas karena bisa menimbulkan berbagai efek samping merugikan.

“Siapa yang melanggar lagi, Kojai enggak mau tanggung (akibatnya). Itu jadi urusanmu (pedagang) sendiri. Silakan nanti bisa berurusan dengan polisi. Saya keluarkan juga dari Kojai,” tuturnya.

Baca juga: Biaya Kereta Cepat Bengkak, Erick Thohir: Harga Baja Naik Luar Biasa

Dia menganggap semua anggota Kojai, yakni 70-an pedagang jamu di Pasar Nguter kini telah mengetahui bahwa mereka jelas tak boleh menjual jamu TIE dan atau mengandung BKO. Sebab, pengurus Kojai telah seringkali membahas soal itu dengan pedagang.

Di samping itu, kata Ny. Moertedjo, para pedagang juga sudah beberapa kali mendapatkan edukasi langsung dari BPOM maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukoharjo terkait keamanan pangan jamu.

Dia bercerita beberapa waktu lalu dirinya juga sempat ditegur Pengurus Pusat Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Indonesia karena ada temuan produk jamu ilegal di sejumlah daerah, termasuk di Jakarta yang disebut dipasok dari pedagang Pasar Nguter.

Dia langsung menindaklanjuti laporan tersebut dan mendapati salah satu pedagang mengakui melakukannya. Pedagang itu, kata Ny. Moertedjo, telah menandatangani surat perjanjian untuk menyetop penjualan produk jamu tak layak edar itu.

“Saya minta ke pedagang itu untuk menarik semua produk yang bermasalah. Kalau enggak mau, saya malah yang akan lapor ke polisi. Jamu dengan BKO bisa membunuh pelan-pelan orang-orang yang mengonsumsinya,” ungkap dia.

Baca juga: Besaran Bunga Shopee Paylater, Denda, dan Cara Menghitungnya

Ny. Moertedjo pun bercerita pernah ada kasus kematian akibat konsumsi jamu mengandung BKO di Kabupaten Sragen. Korban itu dilaporkan minum jamu seduhan dari penjual di Sragen, tapi si penjual mengaku kulak di Pasar Nguter.

“Saya tidak mau kejadian lama ini tak terulang lagi. Jadi, saran saya, teman-teman pedagang yang tak bisa atau belum mampu membuat produk jamu dengan izin edar dari BPOM, sebaiknya menjual bahan baku saja. Ini lebih aman,” ungkap dia.

Ny. Moertejo menerangkan, jika sudah berhadapan dengan hukum, pedagang yang kedapatan menjual produk jamu TIE dan mengandung BKO bisa terancam hukuman penjara hingga 15 tahun.

Di Indonesia, kegiatan mengedarkan produk sediaan farmasi yang tidak memiliki izin edar dan mengandung BKO dianggap melanggar ketentuan dalam Pasal 196 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar dan atau pasal 197 UU yang sama dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.

Kendala perizinan

Ny. Moertedjo menyampaikan, sejak Sukoharjo dideklarasikan sebagai Kota Jamu dan dicanangkan sebagai destinasi wisata jamu, para pedagang semakin didorong untuk menjual produk obat tradisional yang pasti aman dan legal.

Baca juga: 1 Kg Berapa Ons? Begini Cara Hitungannya

Baik secara pribadi maupun mewakili kelembagaan Kojai Sukoharjo, dia pada dasarnya mendukung upaya itu agar tak timbul masalah di kemudian hari, terutama yang menyangkut keselamatan konsumen.

Tapi di sisi lain, Ny. Moertedjo ingin semua pihak juga paham bahwa di lapangan ada banyak tantangan yang mesti dihadapi untuk menjadikan Sukoharjo bebas peredaran jamu ilegal.

Untuk sampai ke sana, kata dia, jelas butuh upaya yang tak semudah membalikkan telapak tangan.

Sebagai contoh, banyak pelaku usaha jamu di Sukoharjo nyatanya datang dari masyarakat kecil. Mereka sebenarnya ingin memproduksi jamu layak edar atau sesuai dengan standar pemerintah.

Namun, karena terkendala berbagai hal, utamanya menyangkut modal dan kesediaan tenaga teknis kefarmasian (TTK) atau tenaga kesehatan tradisonal, beberapa dari mereka akhirnya nekat atau terpaksa memproduksi jamu ala kadarnya.

Dia pun yakin berbagai produk jamu TIE yang ditemukan Kompas.com di Pasar Nguter adalah hasil produksi usaha kecil menengah. Salah satu indikasinya, menurut Ny. Moertedjo, jamu hanya dikemas dengan bahan kertas.

Sedangkan, produk jamu yang telah mendapat izin edar pada umumnya dibungkus aman dengan bahan plastik khusus atau aluminium foil.

Baca juga: Bedanya Kantor Pajak KPP Pratama, KPP Madya, dan KPP Wajib Pajak Besar

Ny. Moertedjo menjelaskan, untuk mendapatkan izin edar, produsen jamu nyatanya harus menyiapkan modal tidak sedikit.

Modal itu di antaranya dibutuhkan untuk membayar uji laboratorium produk, meng-hier apoteker/TTK/tenaga kesehatan tradisonal, menyiapkan kemasan sesuai standar, hingga menyediakan sarana dan prasana produksi sesuai ketentuan.

“Untuk uji Salmonella dan E. coli saja, teman-teman setidaknya perlu menyiapkan Rp1 juta lebih. Padahal masih ada uji-uji kandungan lainnya yang mesti dilakukan. Kira-kira total bisa habis Rp4 juta buat uji laboratorium. Itu belum termasuk dengan biaya akomodasi ke sana ke mari,” terang dia.

Ny. Moertedjo menyampaikan, para pedagang bahkan harus siap merogoh kocek lebih dalam lagi untuk keperluan penyediaan bungkus jamu dan bangunan produksi sesuai standar.

Menurut dia, harga bahan kemasan obat tradisional yang memenuhi syarat bisa mencapai Rp40 juta-200 juta per rol.

Sayangnya, produsen jamu kebanyakan harus menyediakan uang segitu karena jarang bahan kemasan bisa dibeli atau dipesan eceran.

Ny. Moertedjo menyebut, penyediaan bangunan atau ruang produksi obat tradisional juga tak boleh dilakukan sembarangan. Bangunan harus diatur sesuai dengan standar dari BPOM.

Baca juga: Ini Jenis-jenis Pinjaman dan Bunga di Pegadaian Terbaru

Sederhananya, jelas dia, produsen tak diperkenankan untuk melakukan setiap tahapan produksi jamu di satu ruangan saja.

“Kebutuhan ruangan area pengolahan jamu yang wajib disediakan itu ada ruang timbang, ruang mixing, ruang filling atau pengemasan primer, ipc, serta ruang cuci dan simpan alat. Nah, (realisasi) layout bangunan ini enggak mudah,” tutur dia.

Karena berbagai kendala perizinan tersebut, beberapa pedagang Pasar Nguter yang sempat mencoba memproduksi obat tradisional pun pada akhirnya memutuskan untuk menyerah.

Menurut dia, sedikitnya ada lima orang yang sempat mencoba memproduksi dan menjual jamu dengan merek sendiri, tapi akhirnya berhenti karena kesulitan memenuhi persyaratan.

Itu belum termasuk dengan jumlah pedagang atau masyarakat yang baru sebatas punya keinginan atau rencana memproduksi jamu sendiri, namun batal mewujudkannya karena pesimis dapat memenuhi syarat memperoleh izin edar.

“Banyak, sekitar ada lima orang (yang berhenti produksi). Sebagian sudah saya coba bantu menguruskan izin baru atau untuk perpanjangan, tapi macet. Kendalanya ya seputar modal dan kesulitan memperoleh apoteker untuk penanggung jawab produksi,” kata dia.

Bagaimanapun, sebut Ny. Moertedjo, pelaku usaha jamu skala kecil sadar betul bahwa memang belum bisa menawarkan profit tinggi kepada tenaga apoteker yang bersedia bergabung.

Baca juga: Besaran Gaji TNI Plus Tunjangannya, dari Tamtama hingga Jenderal

Dia mengaku sudah menyampaikan berbagai kendala perizinan yang dihadapi para pelaku usaha kecil jamu ini kepada pemerintah, terutama ke BPOM dan Pemkab Sukoharjo.

Ny. Moertedjo mengharapkan adanya bantuan yang lebih dalam dari pemerintah untuk mempermudah pelaku usaha jamu memperoleh izin edar.

Usul kongkretnya antara lain berupa Pemerintah memberikan kemudahaan dalam mengakses pinjaman modal, menggratiskan uji laboratorium, dan membantu penyediaan tenaga apoteker.

Selain untuk mendukung kesejahteraan para pelaku usaha jamu, Ny. Moertedjo menegaskan, persoalan perizinan ini pada muaranya diperlukan untuk meminimalisir peredaran obat tradisional yang tak memenuhi standar keamanan konsumsi.

Dia menuturkan, anggota Kojai yang masih memproduksi jamu dan mempunyai izin edar kini tinggal berjumlah 11 orang.

Sementara, 60 anggota lainnya hanya menjualkan produk jamu yang telah memiliki nomor izin edar atau menjual bahan baku jamu.

Baca juga: Penasaran Berapa Gaji Sipir Penjara?

Dia juga berharap pemerintah dapat semakin menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat untuk memilih mengonsumsi jamu yang pasti aman dan legal.

Hal ini penting juga untuk mengurangi kemungkinan produsen atau penjual jamu menyediakan produk obat tradisional TIE karena adanya permintaan.

Ny. Moertedjo mengharapkan masyarakat tidak tergiur dengan harga jamu TIE yang cenderung dijual lebih murah dibandingkan dengan jamu yang telah memiliki nomor izin edar.

Terlebih lagi, kata dia, jamu itu diklaim mampu menyembuhkan suatu penyakit dalam waktu singkat alias cespleng. Sebab, pada umumnya jamu dengan efek seperti itu mengandung BKO.

Jika konsumen masih membeli obat tradisional tanpa izin edar, kata Ny. Moertedjo, ada kemungkian produsen atau pedagang akan terus menyediakan produk berisiko berbahaya tersebut.

Berhenti produksi

Yatmini (76) termasuk di antara pedagang Pasar Nguter yang sempat menjual produk jamu sendiri, tapi kemudian berhenti karena terkendala izin edar.

Pedagang 79 tahun itu sebenarnya pernah mendapatkan izin edar dari BPOM untuk produknya pada tahun 2000. Dia memproses izin edar dengan dibantu pengurus Kojai Sukoharjo.

Tetapi, pada 2005, dia tak sanggup memperpanjang izin tersebut karena menghadapi sejumlah kendala.

Baca juga: Mengintip Besaran Gaji Polisi, Lengkap dari Tamtama hingga Jenderal

Ini termasuk, Yatmini mengaku tak punya cukup modal untuk membiayai akomodasi uji laboratorium lagi yang saat itu harus dilakukan jauh di Semarang.

Selain itu, dia tak sanggup mempertahankan kerja sama dengan tenaga apoteker untuk menjadi penanggung jawab produksi.

“Aturan dari pemerintah saat itu juga semakin ketat untuk penyedaian tempat pengolahan jamu. Sementara, saya tak mampu jika harus menyediakan ruang pencucian sendiri, penjemuran sendiri, pengemasan sendiri, gudang, dan lain sebagainya,” ujar dia.

Yatmini saat itu sudah memasarkan produk jamu dengan merek Caping Gunung.

Tak hanya memperpanjang izin edar produk yang sudah ada, dia saat itu sebenarnya ingin juga mendaftarkan item produk baru. Tapi, karena merasa tak sanggup memenuhi sejumlah persyaratan, Yatmini terpaksa mengubur kedua harapannya tersebut.

Karena tak punya izin edar, dia pun tak berani menjual lagi jamu Caping Gunung di pasaran. Dia takut bersinggungan dengan petugas penegak hukum meski menjamin produknya tetap aman.

Sementara, Yatmini mengatakan, petugas BPOM cukup sering melakukan sidak di Pasar Nguter untuk memastikan para pedagang tidak menjual jamu TIE dan mengandung BKO. Menurutnya, sidak dilakukan sekitar 3 bulan sekali.

Baca juga: Minat Jadi Camat? Ini Besaran Gajinya

Karena tak mampu memenuhi syarat dari BPOM, Yatmini bercerita sempat meminta pengurus Kojai saja yang mengeluarkan izin edar mandiri untuk produknya. Tapi, dia kemudian paham bahwa Kojai “tak cukup kuat” untuk melakukannya.

Yatmini akhirnya kini hanya menjual produk jamu orang lain yang telah dilengkapi NIE.

Untuk menarik minat pembeli datang, dia sambil menjajakan peralatan berkebun dan alat-alat produksi jamu tradisional di kiosnya.

Yatmini mengaku sempat punya keingingan memproduksi lagi jamu Caping Gunung setelah berhenti. Tapi, dia pesimis bisa memenuhi semua persyaratan memperoleh izin edar, bahkan hingga sekarang.

“Sebenarnya pengin produksi jamu lagi. Saya sempat membayangkan, seandainya (produksi dan penjualan jamu) bisa bebas seperti dulu, ekonomi saya mungkin berkembang. Wong saya juga kan ga neka-neko. Tapi ya sudah, pemerintah wajibkan jamu harus punya NIE. Saya tak berani melawan,” ucap dia.

Yatmini menururkan, dirinya tak sendirian sebagai pedagang jamu di Pasar Nguter yang sempat memproduksi jamu racikan sendiri, tetapi kemudian memutuskan untuk berhenti karena terkendala izin.

“Yang mundur ada banyak, sekitar ada 4-5 pedagang. (Merek) Narodo yang dulu izinnya diajukan bersama dengan Caping Gunung juga kini sudah tak diproduksi lagi. Itu punya ponakan saya," jelas dia.

Baca juga: Minat Daftar Jadi Perangkat Desa? Ini Besaran Gajinya

"Mereka padahal sudah punya 15 produk yang berizin, tapi kemudian dicabut atau tak diperpanjang. Ada juga Monggo Mas yang sudah tidak dijual lagi. Kami akhirnya sekarang hanya menjual produk jamu lain yang punya izin edar, seperti Sabdo Palon, Gujati, Air Mancur, dan lain-lain,” kata dia lagi.

Perempuan yang sudah berjualan di Pasar Nguter lebih dari 30 tahun itu berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib pedagang jamu kecil apalagi Sukoharjo telah ditetapkan jadi Kota Jamu.

“Kalau saya lihat, ada banyak (masyarakat Sukoharjo) yang punya keinginan dan kemampuan meracik jamu. Harapan saya ya, kami-kami ini dapat difasilitasi, bukan malah dibiarkan atau dicari-cari salahnya ketika sedang merintis usaha,” ucap Yatmini.

Harga jamu ilegal

Kompas.com menemukan jamu tanpa izin edar di Pasar Nguter dari dua pedagang. Hal itu terjadi ketika Kompas.com berkunjung ke tujuh kios dan mendapati dua kios di antaranya menjual produk jamu yang belum dilengkapi NIE dari BPOM.

Dua kios tersebut kebetulan memungkinkan para pembeli memilih barang secara mandiri atau menerapkan sistem swalayan.

Sedangkan lima kios lainnya tidak demikian. Pembeli lebih mungkin mesti bertanya dulu ke pedagang untuk bisa melihat produk.

Baca juga: Disentil Jokowi soal Gaya Hidup Hedon, Berapa Gaji Jenderal Polisi?

Ketika ditanya, semua pedagang di lima kios menjamin semua produk jamu yang mereka jual sudah memiliki nomor izin edar.

Di dua kios, produk jamu TIE ditemukan Kompas.com di antara produk jamu lain yang telah memiliki NIE. Jamu berada di posisi cukup belakang sehingga tidak bisa terlihat langsung dari depan kios.

Di satu kios, Kompas.com mendapati empat item produk jamu yang di kemasannya tak tercantum NIE. Sedangkan di satu kios lainnya, ada dua item produk jamu TIE yang ditemukan.

Jumlah jamu TIE yang dipajang di rak ada sekitar 5-10 bungkus untuk masing-masing item. Satu bungkus berisi 10 saset.

Ketika tahu ada produk jamu TIE di antara barang yang dibeli Kompas.com, kedua pedagang tampak menaruh curiga. Keduanya sama-sama menanyakan asal usul saat melakukan transaksi.

Ketika Kompas.com memperkenalkan diri sebagai jurnalis, kedua pedagang mengeklaim hanya menjual jamu TIE dalam jumlah sedikit dan yakin produk itu aman dikonsumsi meski belum didaftarkan izin edar ke BPOM.

“Karena (jamu TIE) ini buatan sekitaran sini saja, saya yakin aman. Jamu enggak dicampur obat macem-macem,” tutur salah satu pedagang yang bersedia diwawancara dengan syarat anonim.

Baca juga: Intip Gaji Polisi Pangkat Bintara, dari Bripda hingga Aiptu

Dia mengaku tahu bahwa pedagang tidak boleh menjual produk obat tradisional tanpa izin edar, terlebih dipastikan mengandung BKO.

Pedagang itu nekat menjual jamu TIE hanya karena ingin menambah variasi barang jualan. Di mana, kata pedagang itu, hampir semua pedagang di Pasar Nguter sekarang menjual produk jamu dengan merek yang sama.

Dia merasa kondisi ini kurang menguntungkan bagi para pedagang seperti dirinya yang menempati kios di bagian dalam pasar. Pedagang itu menjadikan jamu TIE yang murah sebagai daya tarik tersendiri.

“Biasanya kan ada orang yang cari jamu yang lebih murah. Saya jadi bisa sediakan,” ucap dia, merujuk pada jamu TIE yang dijual.

Harga produk jamu TIE yang dijual pedagang memang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk jamu yang sudah berizin.

Sebagai contoh, meski sama-sama berisi 10 saset, produk jamu Pegal Linu tanpa izin edar hanya dijual Rp 2.000 per bungkus, sementara jamu dengan nomor izin edar Rp 8.000 per bungkus.

Satu pedagang lain yang bersedia juga diwawancara dengan syarat anomin, mengaku tak sembarangan ketika menjual jamu TIE.

Baca juga: Keruwetan Kereta Cepat dan Sikap Keberatan Jonan saat Jadi Menhub

Dia berucap hanya berani menjual produk jamu TIE yang sekiranya aman. Indikator utamanya, yaitu jamu diproduksi di dalam negeri.

“Biasanya yang bermasalah itu jamu impor. Jamunya dicampur bahan obat. Kalau jamu buatan dalam negeri apalagi dari seputaran sini, saya yakin aman, masih tradisional,” dalihnya.

Masyarakat semakin cerdas

Sementara itu, pemilik merek jamu asli Sukoharjo Sabdo Palon, Rini, menjelaskan prosedur pengurusan izin edar obat tradisional ke BPOM memang tidak mudah. Namun, kata dia, hal itu perlu diperjuangkan oleh pelaku usaha jika ingin bertahan di industri jamu.

“Memang untuk bikin izin jamu ini repot. Tapi, pembeli sekarang juga pintar-pintar, kalau mau minum jamu melihat dulu ada POM-TR-nya enggak, ada expired date-nya enggak. Jadi kami sebagai produsen harus menyediakan itu (produk berizin),” ujar Rini.

Setelah didirikan pada 1978, Sabdo Palon kini sudah mempunyai lebih dari 100 produk jamu yang diedarkan ke pasaran. Rini menjamin semua produknya itu sudah didaftarkan izin edar ke BPOM.

Rini membenarkan untuk memperoleh izin edar, pelaku usaha jamu perlu menyiapkan modal yang relatif tidak sedikit.

Secara umum, dia menjelaskan, dana awal di antaranya diperlukan untuk menyediakan alat, bahan, dan tempat produksi sesuai standar, uji laboratorium, hingga membayar tenaga ahli.

Meski begitu, Rini berpendapat, hal tersebut sudah menjadi risiko yang harus ditanggung masyarakat jika ingin berkecimpung di usaha produksi jamu.

Baca juga: Kilas Balik Kereta Cepat, Bolak-balik Ditolak Jonan saat Jadi Menhub

“Karena keinginan pasar sekarang jamu punya izin edar, seberapa berat pun syaratnya ya harus dilakoni. Kalau enggak begitu, kami bisa ditinggal oleh pembeli, malah repot. Jadi, kalau izinnya sudah habis, ya kami terus perpanjangan,” jelas dia.

Rini mengetahui ada beberapa pedagang di Pasar Nguter yang mengalami kesulitan dalam mengurus izin edar jamu racikan sendiri. Menurut dia, para pedagang sudah mencoba saling membantu semaksimal mungkin untuk bisa sama-sama berkembang.

Terkait persoalan ini, dia pun berharap ada intervensi lebih dari pemerintah untuk dapat memberikan bantuan kepada pelaku usaha jamu sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Rini menyampaikan, masalah juga masih dialami oleh pedagang yang bahkan telah memiliki izin edar untuk produk-produknya.

Dia memberi tahu, para pelaku usaha jamu secara umum sekarang sedang menghadapi tantangan berupa turunnya daya beli masyarakat.

Rini menduga hal itu terjadi salah satunya karena semakin banyak masyarakat yang kini lebih memilih untuk mengonsumsi obat atau vitamin kimia daripada jamu dari bahan alami.

“Dalam tiga tahun ini daya beli jamu agak turun. Hal itu mungkin terjadi karena semakin banyak orang ingin praktis. Misalnya, ada yang mengeluh “oh sirahku mumet”, biar ndang mari (lekas sembuh), dia lebih pilih minum obat kimia ke apotek. Padahal kami juga punya jamu sakit kepala,” jelas Rini.

Baca juga: Sederet Alasan Jonan Menolak Proyek Kereta Cepat Saat Jadi Menhub

Dia menyampaikan, banyak orang mungkin melihat jamu laris saat Pandemi Covid-19. Rini membenarkan hal itu. Tapi, menurutnya, itu hanya berlaku untuk beberapa item produk saja.

“Kalau pemerintah sekarang bilang Sukoharjo Kota Jamu, sebenarnya ini penjualan sedang turun. Waktu pandemi, jamu memang ramai diburu. Tapi yang laku kan cuma seputar jahe dan kencur. Padahal saya punya 100 lebih item produk, yang laku paling 10 item. Sedangkan 90 item lainnya jeblok,” keluh Rini.

Dia pun berharap Pemkab bisa membantu menggencarkan promosi minum jamu lagi kepada masyarakat. Rini mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mengajukan jamu ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 7 April 2022.

Kemudahan perizinan

Sementara itu, saat dimintai tanggapan terkait keluhan pelaku usaha jamu kecil kesulitan memperoleh izin edar, Fajar menyebut BPOM pada dasarnya kini telah memberikan sejumlah kemudahan.

Dia menerangkan, sejalan dengan adanya reformasi kemudahan berusaha yang diamanatkan oleh UU No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, termasuk peraturan turunannya, BPOM sudah melakukan penyesuaian regulasi yang berkaitan dengan standar dan persyaratan terkait perizinan berusaha.

Salah satunya melalui Peraturan BPOM No. 14 Tahun 2021 tentang Sertifikasi CPOTB.

Baca juga: Saat Jadi Menhub, Jonan Keberatan Proyek Kereta Cepat, Apa Sebabnya?

Peraturan ini mencabut Peraturan Kepala Badan POM No. 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Sertifikasi CPOTB dan telah mengakomodir kebijakan BPOM terkait kemudahaan berusaha bagi industri dan usaha di bidang obat tradisional.

Dalam peraturan tersebut, di antaranya diatur ketentuan tentang sertifikasi pemenuhan aspek CPOTB Secara Bertahap yang mengakomodir keterbatasan pelaku usaha mikro obat tradisional (UMOT) dan usaha kecil obat tradisional (UKOT) dalam memenuhi ketentuan pemenuhan aspek CPOTB secara penuh.

“CPOTB secara bertahap ini adalah salah satu bentuk dukungan kami terhadap pelaku UMKM jamu. Sederhananya, kalau dulu pelaku usaha jamu harus memenuhi syarat full aspects lebih dulu sebelum boleh memproduksi jamu, sekarang bertahap. Ada tahap 1, tahap 2, dan tahap 3. Jadi, pelaku usaha jamu ini ketika sudah memenuhi beberapa aspek saja, mereka sudah bisa memproduksi jamu,” jelas Fajar.

Bagi Badan POM sendiri, kata dia, adanya Peraturan itu bisa menjadikan pengawasan obat dan makanan menjadi lebih efektif, efisien, dan akuntabel guna memastikan produk yang beredar memenuhi standar CPOTB sesuai dengan bentuk sediaannya.

Untuk lebih lengkapnya, beberapa substansi penting dalam Peraturan BPOM No. 14 Tahun 2021 yang mendukung reformasi kemudahan berusaha, di antaranya yakni:

  • Perubahan cara pengajuan sertifikasi dari manual menjadi elektronik (e-sertifikasi)
  • Penghapusan persyaratan persetujuan denah oleh BPOM
  • Pemangkasan timeline pelayanan
  • Penambahan ketentuan perpanjangan CPOTB dan perubahan fasilitas CPOTB yang tidak memerlukan inspeksi
  • Keringanan Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp0 untuk Sertifikasi Pemenuhan Aspek CPOTB Secara Bertahap bagi UKOT dan UMOT

Baca juga: Kilas Balik Kereta Cepat: Ditolak Jonan, Kini Mau Pakai Duit APBN

Fajar memastikan, Loka POM di Kota Surakarta telah menyosiasisasikan Peraturan BPOM No. 14 tahun 2021 kepada sejumlah pihak.

Ini termasuk para pelaku usaha dan berbagai instansi pemerintah di daerah, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, DPMPTSP di wilayah kerja UPT Loka POM di Kota Surakarta.

Khusus bagi pelaku usaha di “Kota Jamu” Sukoharjo yang ingin berkonsultasi lebih dalam terkait prosedur mendapatkan legalitas jamu, Fajar menyatakan, Loka POM di Kota Surakarta kini telah memberikan kemudahan lain berupa penyediaan layanan di Mal Pelayanan Publik (MPP) “Sevaka Bhakti Wijaya”.

Dia mempersilakan para pelaku usaha memanfaatkan layanan yang diadakan Loka POM di Kota Surakarta atas hasil kerja sama dengan Pemkab Sukoharjo itu.

Sementara itu, saat disinggung soal adanya anggapan dari pelaku usaha jamu bahwa biaya untuk mengurus izin edar tergolong mahal dan sulit dijangkau, Fajar menilai, hal itu relatif.

“Kalau dibilang biayanya mahal, sebenarnya untuk dapat nomor izin edar obat tradisional, biaya pra registrasinya sesuai PP No. 32 Tahun 2017 (tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pengawas Obat dan Makanan) relatif terjangkau, yakni Rp100.000. Tapi untuk memperoleh setifikasi CPOTB, itu kan memang perlu penyediaan tempat produksi standar, uji lab, dan lain sebagainya. Nah itu yang butuh modal tadi,” jelas dia.

Baca juga: Jadwal KRL Solo Jogja di Semua Stasiun Per November 2022

Saat dimintai tanggapan terkait kesulitan pelaku usaha menggandeng tenaga teknis kefarmasian (TTK) atau apoteker sebagai penanggung jawab teknis (PJT), Fajar mengaku pernah juga mendengar keluhan tersebut. Namun, untuk memulai perizinan obat tradisional di BPOM, dia menjelaskan, dapat dilakukan secara paralel dengan pemenuhan syarat personel PJT.

Dalam memproduksi obat tradisional, ada unsur-unsur risiko kesehatan yang harus diminimalisir. Itu mengapa, kata dia, PJT harus paham betul terkait CBOTB.

“Ini (keberadaan PJT) yang membedakan fasilitas produksi jamu legal dan non-legal. Yang non-legal, biasanya gawe gawe ae, sering tak memperhitungkan aspek keamanan,” tutur dia.

Terkait kesulitan yang dialami pelaku usaha untuk menggaet TTK ini, dia memberi saran, kedua belah pihak secara garis besar bisa sedari awal membuat kesepakatan yang dirasa sama-sama menguntungkan.

Fajar memahami bahwa kemungkinan penyebab pelaku usaha kesulitan menggandeng TTK atau apoteker karena dari mereka sendiri yang tak siap memberikan tawaran kesejahteraan.

Padahal lulusan tenaga ahli ini terbilang cukup melimpah di Soloraya. Banyak kampus yang membuka jurusan farmasi dan bahkan jurusan jamu.

Baca juga: Berapa Gaji UMR Bekasi 2021?

“Beberapa solusi bisa ditawarkan, misalnya di awal disepakati antara pelaku usaha dan calon PJT sebelum usahanya berkembang, ada sistem bagi hasil atau seperti apa. Kerja sama bisa bermacam-macam. Pelaku usaha dan calon PJT bisa menyepakati mana yang terbaik,” jelas dia.

Komitmen Pemkab

Bupati Sukoharjo, Etik Suryani (tengah) mewajibkan semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melaksanakan rutinitas minum jamu setiap hari jumat. Program tersebut dalam upaya memberdayakan UMKM jamu. Selain OPD, budaya minum jamu tersebut juga diberlakukan untuk BUMD dan juga swasta. Peluncuran Gerakan Minum Jamu dilakukan di Loby Gedung Menara Wijaya, Senin (12/4/2021).Pemkab Sukoharjo Bupati Sukoharjo, Etik Suryani (tengah) mewajibkan semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melaksanakan rutinitas minum jamu setiap hari jumat. Program tersebut dalam upaya memberdayakan UMKM jamu. Selain OPD, budaya minum jamu tersebut juga diberlakukan untuk BUMD dan juga swasta. Peluncuran Gerakan Minum Jamu dilakukan di Loby Gedung Menara Wijaya, Senin (12/4/2021).

Saat dimintai tanggapan, Kepala Dinas Kesehatan Sukoharjo, Tri Tuti Rahayu, mengaku siap untuk terus membina para pelaku usaha jamu di Sukoharjo hingga jangan sampai ada lagi yang memproduksi maupun menjual obat tradisional ilegal.

Terkait kendala pelaku usaha jamu di Sukoharjo kesulitan memperoleh izin edar, dia menyampaikan komitmen Pemkab siap untuk mencoba membangun koordinasi lagi dengan mereka.

Tuti mengatakan, beberapa pihak juga bisa dilibatkan dalam pembicaraan ini, seperti dari Kojai, BPOM, institusi Pendidikan, hingga Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Cabang Sukoharjo, untuk menemukan solusi terbaik.

Dia menegaskan bahwa Pemkab sangat serius dalam mengembangkan Sukoharjo sebagai “Kota Jamu”.

Bupati Sukoharjo Etik Suryani sendiri telah meluncurkan Gerakan Minum Jamu pada April 2021.

Dengan peluncuran program tersebut, semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Sukoharjo jadi diwajibkan untuk melaksanakan rutinitas minum jamu setiap Jumat.

Selain OPD, budaya minum jamu juga diberlakukan untuk BUMD dan juga swasta. Menurut Tuti, program itu diinisiasi oleh Bupati dalam upaya memberdayakan UMKM jamu.

Baca juga: Mengapa Israel Begitu Kaya Raya?

Tumbuhnya industri jamu di Sukoharjo sendiri berawal dari potensi industri jamu dari hulu ke hilir, mulai dari kebun tanaman obat herbal, UMKM jamu, jamu gendong, hingga industri obat tradisional.

Sejak dahulu, warga Nguter, umumnya para perempuan, telah terbiasa meracik aneka dedaunan dan rempah-rempah menjadi minuman jamu.

Lama kelamaan, racikan jamu dari tangan ibu-ibu Nguter ini mulai dikenal oleh warga Sukoharjo, bahkan luar daerah sekitarnya.

Jamu yang dihasilkan ada kunir asam, beras kencur, temulawak, jamu pahitan, jamu pegel linu, dan lain sebagainya.

Jamu-jamu ini dikemas di dalam botol, lalu dimasukkan ke dalam bakul dan digendong di belakang ketika dijual. Cara menjual jamu seperti inilah yang akhirnya dikenal dengan jamu gendong.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, sejumlah penjual jamu gendong ini beralih menggunakan sepeda onthel hingga motor untuk menjajakan jamu-jamu mereka.

Tak hanya di Sukoharjo dan daerah sekitar, banyak warga Nguter yang merantau pun turut memopulerkan jamu tradisional di daerah tujuan.

Berjalannya waktu, racikan jamu Sukoharjo kemudian ada yang diproduksi dan dikemas secara pabrikan hingga dijual ke luar Pulau Jawa.

Berdasarkan catatan Pemkab, jumlah UMKM jamu di Sukoharjo sempat mencapai angka 2.513 pada 2021. Usaha jamu yang dilakukan antara lain penjual jamu gendong, penjual jamu keliling, warung jamu racikan, pengilingan jamu, pedagang jamu racikan, pengusaha jamu instan.

Subkoordinator Seksi Farmamin, Alkes, dan Perbekes Dinas Kesehatan Sukoharjo, Suyanto, menambahkan bahwa dalam menjamin peredaran jamu di Sukoharjo aman dan legal, Pemkab juga siap menggiatkan pengawasan di lapangan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai keamanan sediaan farmasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com