Kue ekonomi nasional tidak bertambah signifikan, tapi faktor pembaginya makin banyak. Di pasar domestik semakin banyak reseller di online. Apalagi pasar digital domestik diserbu produk dari Tiongkok yang sangat murah.
Saat ini pasar Indonesia menjadi tempat pembuangan produk dari Tiongkok yang sedang mengalami pelemahan ekonomi.
Karena itu seperti di Tiongkok agenda tranformasi digital perlu dilandasi kebijakan otoritatif agar lebih terarah. Setidaknya:
Semua itu harus ditopang oleh infrastruktur memadai dan bagaimana Indonesia bisa menjadi tempat tinggal talenta-talenta digital kelas dunia.
Mestinya talenta digital, data dan mesin pintar bisa mengakselerasi induksi ekonomi baru dengan ekonomi lama, bukan membunuh ekonomi lama.
Di sektor agrikultur dan akuakultur yang menjadi salah satu potensi ekonomi nasional yang didominasi usaha kecil membutuhkan aplikasi digital yang bisa mengagregasi skala ekonomi mereka untuk bisa terhubung ke pasar, pembiayaan dan teknologi produksi modern. Saat ini masih sangat sedikit.
Sebut saja, misalnya, unicorn agritech e-Fishery, Aruna atau Fishlog untuk sektor perikanan, Hara untuk sektor pertanian, dan Praktis suatu ekosistem yang membantu wirausaha muda pemula.
Program Entrepreuner Hub di Kemenkop UKM juga digagas untuk menginkubasi para start-up dan menghubungkanya dengan para investor agar lebih banyak lagi aplikasi digital di sektor produksi.
Namun saat ini barangkali prioritas harus difokuskan pada pengaturan perdagangan secara elektronik agar gempuran produk luar yang sangat murah lewat platform global tidak mematikan produksi dalam negeri terutama produk UMKM.
Ada tiga hal yang perlu disegerakan, yaitu:
Saat ini di offline diatur ketat, tapi di online masih longgar. Banyak aspek yang harus dibenahi.
Revisi Permendag No.50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, setidaknya bisa menutupi kelemahan regulasi kita.
Ada empat hal yang pokok, yaitu:
Penggunaan smart factory di Industri manufaktur yang padat karya memang dilema. Di satu sisi bagus untuk produktivitas, menghasilkan produk yang berdaya saing global, tapi di sisi lain tidak bagus untuk isu pengangguran.
Sampai di sini ada betulnya transformasi digital harus terarah agar disrupsinya lebih moderat.
Untuk sektor-sektor tertentu seperti ekonomi UMKM yang masih menggunakan alat produksi sederhana harus dilindungi karena dampak sosialnya sangat besar, apalagi 97 persen lapangan kerja di Tanah Air disediakan oleh usaha mikro dan kecil.
Ini bukan antiinovasi teknologi, tapi revolusi teknologi bila dibiarkan liar bukan melahirkan kesejahteraan umum, malah ketimpangan dan ketidakadilan. Disrupsi mestinya melahirkan peluang dan demokrasi ekonomi, bukan monopoli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.