KOMPAS.com - Di Indonesia, praktik pencucian uang (money laundering) sering dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Tujuan paling umum praktik kotor ini yakni menyamarkan asal-usul uang seolah berasal dari aktivitas legal.
Bisa dikatakan, pencucian uang adalah untuk memperkaya diri sendiri dengan berupaya mengaburkan asal-usul uang atau aset yang didapatkan dari cara yang tidak wajar atau ilegal seperti korupsi, terorisme, perampokan, perdagangan manusia, narkoba, illegal fishing, dan sebagainya.
Dilansir dari Jurnal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditulis Joni Emirzon, Guru Besar Hukum Bisnis Unsri, setidaknya ada tiga proses pencucian uang yakni penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration).
Penempatan yakni upaya menempatkan dana yang dihasilkan suatu kegiatan tindak pidana ke sistem keuangan, seperti penempatan dana pada bank, membiayai suatu usaha yang seolah-seolah sah seperti pemberian kredit atau pembiayaan (mengubah kas menjadi kredit).
Baca juga: Food Estate Era Soeharto dan Kerusakan Masif Hutan di Kalimantan
Contoh lain dari penempatan pencucian uang adalah membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk kepentingan pribadi, biasanya diatasnamakan orang lain.
Berikutnya yakni transfer atau layering memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana.
Contoh praktik ini antara lain transfer dana satu bank ke bank lain antarwilayah atau negara, dan memindahkan uang lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company (perusahaan cangkang).
Baca juga: Kiat Prabowo Berantas KKN: Gaji Pejabat Harus Besar
Ketiga yakni integration atau menggunakan harta kekayaan, yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besar biaya yang harus dikeluarkan.
Karena tujuan utama pencucian uang adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.
Contoh sederhananya, seorang pejabat melakukan korupsi. Namun, untuk menyamarkan uang hasil korupsinya, ia lantas mendirikan sebuah usaha restoran.
Baca juga: KKN Selimuti Garuda Indonesia pada Era Orba
Uang hasil dari korupsi kemudian dipakai untuk melakukan transaksi pembelian, baik berupa transaksi fiktif maupun transaksi yang benar-benar dilakukan.
Di mana nantinya uang kotor hasil korupsi tersebut kemudian berubah menjadi pemasukan atau pendapatan dari usaha restoran bersangkutan. Uang pendapatan yang masuk inilah dianggap sebagai uang aman karena hasil dari transaksi bisnis yang sah.
Praktik pencucian metode integration dengan menyamarkan dalam bentuk transaksi bisnis umumnya berbentuk usaha dalam bidang jasa karena transaksinya yang bisa dengan mudah dimanipulasi.