Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Perbedaan E-commerce dan Social Commerce?

Kompas.com - 24/07/2023, 15:10 WIB
Elsa Catriana,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Meskipun pandemi mereda, tren belanja online masih terus diminati. Berdasarkan laporan Google dan Temasek mencatat, pola belanja online tetap meningkat pasca pandemi, walaupun jumlah transaksinya tidak setinggi ketika pandemi.

Hal ini juga didorong dengan banyaknya e-commerce dan social commerce bermunculan yang menjadi opsi masyarakat untuk beberlanja.

Namun sebenarnya apa perbedaan e-commerce dan social commerce?

Digital Economy Researcher INDEF Nailul Huda menjelaskan e-commerce adalah pembelian dan penjualan barang, jasa, atau data melalui jaringan elektronik di internet. Transaksi yang diselesaikan lewat e-commerce terjadi melalui platform penjualan online situs web e-niaga dan pasar digital.

Baca juga: Kaji Fenomena Social Commerce, Menkominfo: Jangan Sampai Jadi Ajang Penipuan

Sementara social commerce adalah menggabungkan jejaring sosial dan e-commerce dengan iklan tertarget dan personal.

"Media sosial memfasilitasi koneksi, konten online mendukung interaksi sosial, discovery platform transaksi belum terjadi di platform," ujarnya dalam Diskusi Publik Project S TikTok, yang disiarkan virtual, Senin (24/7/2023).

Kemudian untuk pola bisnis social commerce dijelaskan Huda adalah menawarkan harga yang lebih murah bagi kedua sisi konsumen baik penjual ataupun pembeli. Hal itu lantaran di social commerce tidak memiliki biaya administrasi hingga pajak.

"Seller konsumen menggunakan social commerce itu akan mendapatkan harga yang lebih murah. Begitupun dengan seler, saat ini memang tidak ada biaya administrasi pajak, sehingga jauh lebih murah dibandingkan dari e-commerce karna ada biaya admin dan pajaknya," katanya.

Karena hal itulah orang-orang saat ini lebih banyak tertarik untuk berbelanja online melalui social commerce.

Baca juga: Kominfo Diminta Tertibkan Social Commerce, Ini Alasannya

Namun di sisi lain menurut dia, hal ini menimbulkan polemik lantaran banyaknya para penjual lokal yang menjual produk-produk impor yang mayoritasnya berasal dari China. Efeknya, membuat produk UMKM di Tanah Air kalah saing.

Oleh sebab itu, Huda meminta Kementerian Perdagangan untuk segera merevisi aturan nomor 50 tahun 2022 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Menurut dia, impor meningkat seiring terjadinya social commerce boom dan e-commerce boom. Banyak data-data beredar yang menyebutkan hingga 95 persen produk-produk e-commerce berasal dari impor.

"Mungkin seller-nya lokal tapi produk-produknya dari impor, terutama China. Ini yang harus dibahas dalam revisi Permendag Nomor 50," ungkap Huda.

Baca juga: Aturan Social Commerce Dinilai Longgar, TikTok Jadi Ancaman UMKM?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com