Sementara itu, Willie Farianto, Pengacara/Praktisi Hukum Ketenagakerjaan, mengatakan, UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) dan UU cipta kerja terdapat persoalan. Diantaranya, persoalan implementasi yakni UU ketenagakerjaan tidak membedakan kemampuan finansial antara perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil.
“Semua disamaratakan, kemudian diberikan satu kewajiban hukum yang sama. Ini yang saya pahami sebagai persoalan ketidakmampuan,” ucap Willie dalam diskusi virtual, Jumat (9/10).
Kemudian, persoalan ketidakmauan dalam implementasi yakni perusahaannya mampu tapi tidak mau menjalankan ketentuan UU ketenagakerjaan. Jadi UU cipta kerja harusnya melakukan penguatan pengawasan ketenagakerjaan.
Baca juga: Moeldoko: UMKM Motor Utama Ekonomi Indonesia di Masa Pandemi
“Dalam UU ciptaker kita sudah bisa mulai melihat adanya perbedaan kewajiban dari pengusaha mikro/kecil kepada pekerja. Ini tentunya menjadi harapan besar untuk melihat perkembangan dari pengusaha – pengusaha UMK setelah nanti diundangkannya UU cipta kerja,” ujar dia.
Lebih lanjut Willie mengatakan, hukum ketenagakerjaan dibangun dari kaidah heteronom dan otonom. Dalam hal kiedah heteronom (UU ketenagakerjaan dan UU cipta kerja) terdapat kekurangan, maka kaidah otonom (peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama) dapat melengkapi.
“Sehingga memberikan perlindungan hukum dan kesejahteraan terhadap pekerja dengan tetap memperhatikan kepentingan pengusaha,” ujar Willie. (Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli)
Baca juga: Meski Pandemi, Pembiayaan UMKM Bank Syariah Tetap Tumbuh
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Tingkatkan investasi, pemerintah diminta benahi 5 aspek ini