Lewat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku sejak 2022, PPh orang pribadi berpenghasilan di atas Rp5 miliar ditingkatkan dari 30 persen menjadi 35 persen.
Artinya, mereka yang lebih sejahtera wajib membayar pajak dengan tarif lebih tinggi. Ini mencerminkan sikap gotong royong dalam konteks pengelolaan keuangan negara.
Pajak yang terkumpul kemudian disalurkan kembali dalam bentuk belanja negara yang berfokus pada tiga pilar penting: pendidikan, infrastruktur, dan jaring pengaman sosial, khususnya untuk mengatasi isu kemiskinan ekstrem dan stunting.
Memasuki masa endemi, tantangan tidak kunjung surut. Deglobalisasi seturut perang Rusia-Ukraina membawa kita menuju babak baru: era suku bunga dan inflasi tinggi.
Berkedok mitigasi perubahan iklim, negara maju saling serang dengan memanfaatkan instrumen fiskal untuk menarik investasi, menahan kemajuan negara lain, termasuk Indonesia.
Mula-mula, Amerika Serikat (AS) memberi subisidi besar-besaran untuk industri terkait perubahan iklim lewat Inflation Reduction Act.
Uni Eropa kemudian membalas lewat kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism, berupa kenaikan tarif bea masuk yang sangat tinggi terhadap barang sarat emisi karbon.
“Gencatan fiskal” antara AS dan Uni Eropa berdampak pada kinerja ekspor nasional. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia hingga Mei 2023 turun sebesar 6,01 persen dalam setahun. Kinerja ekspor yang terkontraksi itu turut mendeselerasi capaian penerimaan pajak.
Harus diakui, setoran pajak memang banyak dipengaruhi kinerja ekspor dan fluktuasi harga komoditas.
Tatkala siklus ledakan komoditas berakhir pada 2012, realisasi penerimaan negara gagal mencapai target. Angka realisasi penerimaan negara kala itu sebesar Rp 1.338,11 triliun, berada di bawah target APBN-P sebesar Rp 1.358,21 triliun.
Agar penerimaan pajak tidak terus termoderasi, upaya peningkatan basis pajak perlu terus digali. Terlebih, jumlah pelapor pajak tahun masih di bawah target.
Hingga Mei 2023, ada sekitar 6,08 juta wajib pajak belum lapor SPT, dari total 19,44 juta wajib pajak yang harus melaporkan SPT. Maka dari itu, paling tidak ada tiga hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, memastikan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), lazim disebut core tax, berjalan sesuai rencana.
Sistem yang akan diterapkan mulai 1 Januari 2024 itu akan memperkuat layanan administrasi dan wajib pajak, sekaligus meningkatkan efektivitas pelaksanaan reformasi perpajakan.
Hasil simulasi Kementerian Keuangan menjabarkan implementasi core tax akan membantu pencapaian target penerimaan pajak sebesar Rp 2.280,3 hingga Rp 2.355,8 triliun pada tahun depan.