“Apabila (penyebab predator pricing) itu proses importasi ilegal, mari sama-sama kita berantas. Sama-sama kita cek di platform, barang-barang yang dijual tadi (importasi ilegal) segera dibatasi. Jadi bukan cross border-nya yang dibatasi. Tapi barang impor (ilegal) yang ada di platform yang dibatasi. Pengawasan barang impor di platform diperketat,” katanya.
Senada, Ekonom sekaligus Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengingatkan kebijakan pengendalian impor e-commerce penting, tapi perlu dilihat ekses dari regulasi, di mana batas minimal 100 dollar AS per barang berpeluang memunculkan barang impor ilegal.
Bhima berpendapat seharusnya pengaturan predatory pricing dipertegas pemerintah dalam revisi regulasi existing. Bukan hanya merugikan pelaku UMKM, kebijakan tersebut ditekankannya berpotensi menghilangkan pendapatan negara.
“Dari mulai kehilangan PPN, PPh Badan, PPh karyawan. Mungkin bisa lost Rp 40-50 triliun per tahun hanya dengan larangan 100 dollar,” kata Bhima.
Ia menilai kebijakan diambil pemerintah ini tak memikirkan secara matang ekses ditimbulkan dan tak melibatkan semua stake holder. Kebijakan itu bahkan disebutnya lebih condong diambil karena anggapan populis jelang Pemilu 2024.
“Kebijakan ini membingungkan. Masalah pajak, Kementerian Keuangan dan bea cukai harus bicara. Pengaruh tax avenue harus dipikirkan. Kementerian tenaga kerja harus angkat bicara, ada UMKM mempekerjakan karyawan, akan ada lay off,” kata Bhima.
Baca juga: Shopee Ungkap Peluang Cross-border Bantu UMKM Lokal Eksis di Pasar Ekonomi Global
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.