Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anies dan Prabowo Mau Bentuk Badan Penerimaan Pajak, Pengamat Sebut Tak Mendesak

Kompas.com - 31/10/2023, 15:57 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dua pasangan bakal calon presiden dan bakal wakil presiden berencana membentuk Badan Penerimaan Negara. Kedua pasangan tersebut ialah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rencana itu disampaikan kedua pasangan calon dalam dokumen visi, misi, dan program masing-masing. Tujuannya sama, yakni untuk meningkatkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional atau tax ratio.

Merespons wacana tersebut, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, pembentukan Badan Penerimaan Negara bukan suatu rencana yang relevan dan mendesak.

Baca juga: Rencana Anies dan Prabowo Pisahkan Badan Penerimaan Pajak dari Kemenkeu

Fajry menjelaskan, pembentukan Badan Penerimaan Negara merupakan isu lama yang memang kerap muncul kembali. Wacana tersebut sempat muncul dikarenakan adanya isu keterbatasan pegawai di lingkup Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya zaman, adopsi teknologi di lingkungan Ditjen Pajak sebenarnya semakin masif. Bahkan, Ditjen Pajak tengah menyiapkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax system. Lewat sistem tersebut, kebutuhan akan pegawai sebenarnya berpotensi semakin berkurang.

"Jadi, isu pembentukan BPN kini menjadi kurang relevan dan tak mendesak," ujar dia kepada Kompas.com, Selasa (31/10/2023).

Baca juga: Pertumbuhan Pajak Melambat, Sri Mulyani: Tahun Lalu Kita Tumbuhnya Sangat Tinggi..

Oleh karenanya, alih-alih membentuk Badan Penerimaan Negara, implementasi dan pegawasan core tax system justru menjadi hal yang lebih mendesak. Hal ini diperlukan agar PSIAP dapat dijalankan sesuai ekspektasi.

Selain itu, ia mendorong adanya reformasi birokrasi dan administrasi di lingkungan Ditjen Pajak. Fajry bilang, reformasi diperlukan agar kasus-kasus korupsi yang menyeret pegawai Ditjen Pajak tidak terulang kembali.

"Itu yang masyarakat inginkan dalam waktu dekat, bukan ganti nama saja menjadi Badan Penerimaan Negara," katanya.

Baca juga: DKI Berencana Pungut Pajak Ojol dan Olshop, Kemenkeu: Enggak Boleh Berganda

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono menilai rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara merupakan rencana yang mungkin dilakukan. Pasalnya, langkah serupa sudah dilakukan sejumlah negara, mulai dari Amerika Serikat, Singapura, hingga

"Seperti halnya praktik di beberapa negara, pemisahan antara otoritas pajak dengan Kemenkeu itu sangat mungkin terjadi," kata dia.

Wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara sempat dimasukan dalam draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada 2016. Akan tetapi, wacana tersebut gagal setelah Sri Mulyani Indrawati kembali menjabat sebagai menteri keuangan.

Baca juga: Cerita Komika Soleh Solihun Dikejar Petugas Pajak, meski Akun YouTube Nihil Pemasukan

Setelah wacana tersebut gagal terealisasi, Prianto menyadari, Kemenkeu telah melakukan sjeumlah langkah reformasi untuk mendongkrak tax ratio. Namun, sejauh ini hasilnya belum maksimal.

Oleh karenanya, Prianto menyebutkan, sah-sah saja jika pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden mengusung wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara. Menurutnya, masing-masing pasangan calon sudah memiliki pertimbangan tersendiri akan rencana tersebut.

"Intinya adalah bahwa tax ratio harus ditingkatkan. Berbagai cara harus dicoba sesuai dgn dasar pertimbangan yang melandasinya," ucap dia.

Baca juga: Pemerintah Sudah Kantongi Rp 15,15 Triliun dari Pajak Digital

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com